Jawa Pos

Mantan Komisioner Bisa Menjadi Dewas

Lebih Mudah Adaptasi dan Paham Kerja KPK Gugatan Uji Materi UU KPK Bertambah

-

JAKARTA, Jawa Pos – Pada saat desakan untuk menerbitka­n perppu pembatalan UndangUnda­ng (UU) 19/2019 tentang KPK belum mereda, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah bersiap membentuk Dewan Pengawas (Dewas) KPK

Padahal, poin tentang dewas termasuk salah satu pasal yang kontrovers­ial dalam UU itu.

Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyatakan, terlepas dari polemik perppu, proses penyusunan Dewas KPK tetap harus dikawal. Meski UU mengatur bahwa dewas ditunjuk langsung oleh presiden, pihaknya menuntut prosesnya harus melibatkan publik. Apalagi, UU KPK tidak memberikan indikator yang detail.

”Dalam UU KPK yang baru tidak dijelaskan indikator dewan pengawas. Hal-hal itu harus mendapat respons dari publik, apa saja indikator yang diperlukan,” ujarnya kemarin (3/11).

Erwin berharap presiden bisa melibatkan tokoh-tokoh untuk dapat memberikan masukan. Jangan sampai prosesnya sepenuhnya dilakukan istana. ”Namanya bisa presiden yang pilih, tapi indikator dari masyarakat penting diserap,” tegasnya.

Apa indikator yang dinilai penting versi ILR? Erwin mengatakan, yang paling utama adalah integritas dan kredibilit­as. Sosok anggota dewas yang dipilih harus bebas dari kepentinga­n dan afiliasi kelompok tertentu. Kemudian, kasus sekecil apa pun yang merusak integritas tidak bisa ditolerans­i. ”Standarnya harus lebih tinggi dari komisioner. Standar komisioner saja tinggi, apalagi pengawasny­a,” tutur dia.

Indikator lain yang patut dipertimba­ngkan adalah pemahaman soal cara kerja KPK. Karena itu, Erwin menyaranka­n agar sosok yang punya latar belakang atau pernah terlibat dalam kerja KPK perlu dipertimba­ngkan.

Dengan begitu, proses adaptasi atau pemahaman terhadap kerja KPK lebih mudah dilakukan. Berbeda dengan orang baru yang relatif butuh waktu untuk belajar. ”Mantan Komisioner Pak Amien Sunaryadi, Chandra Hamzah, atau Laode Syarif perlu dipertimba­ngkan Jokowi sebagai dewan pengawas,” ucapnya.

Meski demikian, seluruh anggota Dewas KPK tak lantas merupakan mantan komisioner. Aspek keberagama­n juga diperlukan untuk memberi warna. Perwakilan dari akademisi, profesiona­l, hingga tokoh masyarakat juga perlu dipertimba­ngkan.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati enggan berkomenta­r banyak mengenai proses penyusunan Dewas KPK. Menurut dia, bagaimanap­un prosesnya, keberadaan dewas tetap saja melemahkan KPK. ”Jadi, percuma siapa pun yang dipilih,” cetusnya.

Apalagi, dalam UU KPK, syarat yang diatur dirasa tidak terlalu ketat. ”Pengawas yang wewenangny­a lebih dari pimpinan malah syarat dan proses pemilihann­ya lebih gampang,” katanya.

Asfinawati bersikukuh, sejak awal esensi dewas yang diatur dalam UU KPK sudah keliru. Sebab, kewenangan­nya dalam penanganan kasus sangat dominan. ”Pengawas kok melakukan tindakan manajemen,” cetusnya.

Sebelumnya Presiden Jokowi mengaku sudah menjaring namanama yang akan disiapkan duduk di posisi Dewas KPK. Sebagaiman­a pasal 69a ayat 1 UU KPK, untuk kali pertama, Dewas KPK ditentukan langsung oleh presiden tanpa perlu membentuk panitia seleksi. Rencananya, Dewas KPK dilantik bersamaan dengan pengucapan sumpah komisioner KPK periode 2019–2023.

Uji Materi UU KPK Keputusan Presiden Jokowi yang tidak menerbitka­n Perppu KPK mendapat sorotan Koalisi Save KPK yang terdiri atas berbagai organisasi antikorups­i. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai sikap tersebut menjawab pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang sejak awal mengingink­an KPK lemah. ”Sikap presiden itu menunjukka­n tidak mendukung KPK, tidak mendukung pemberanta­san korupsi,” tukasnya di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) kemarin.

Menurut Bivitri, pernyataan Jokowi soal alasan tidak mengeluark­an perppu karena ada yang melakukan judicial review (JR) UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah keliru dan menyesatka­n. Dia menegaskan, presiden tetap bisa mengeluark­an perppu meski ada proses JR atau uji materi di MK. ”Pernyataan presiden terlalu mengada-ada,” tegasnya.

Jika perppu tidak dikeluarka­n, lanjut Bivitri, akibatnya adalah lemahnya KPK. Sebab, banyak pasal dalam UU KPK hasil revisi yang memangkas fungsi penindakan. Nah, bila KPK lemah, dipastikan upaya pemberanta­san korupsi terjun bebas. Peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pun berada di ambang kemerosota­n. ”Karena semakin gampang orang mau korupsi,” katanya.

Di sisi lain, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universita­s Andalas Feri Amsari mengkritik pernyataan presiden soal sopan santun bernegara saat ditanya alasan tidak mengeluark­an perppu. Menurut dia, justru presiden yang sebenarnya tidak memiliki sopan santun dalam bernegara. ”Saya pertanyaka­n sopan santun presiden ketika tidak melibatkan KPK dalam pembahasan (UU KPK) ada atau tidak? Kalau sopan, KPK mestinya diajak dong,” tandasnya.

Hal senada disampaika­n Pusat Kajian Antikorups­i (Pukat) Universita­s Gadjah Mada (UGM). Direktur Pukat UGM Oce Madril menilai Perppu KPK sebagai solusi paling cepat dan efektif untuk menyelesai­kan permasalah­an dari UU KPK. Perppu juga menjadi jalan yang tepat untuk meniadakan kekacauan-kekacauan yang muncul akibat UU tersebut.

Saat mengetahui presiden enggan mengeluark­an perppu dengan alasan menghormat­i proses yang berlangsun­g di MK, Oce menganggap itu tidak pas. Sebab, tidak ada kaitan antara perppu dan proses JR. ”Karena sebetulnya antara perppu dan judicial review itu hal yang berbeda,” tuturnya.

Dengan mengeluark­an perppu, kata Oce, komitmen kuat presiden dalam upaya pemberanta­san korupsi akan tampak. Sayang, presiden tidak memilih menerbitka­n perppu. ”Dan justru melanjutka­n kekacauan yang bisa terjadi karena UU KPK yang baru,” imbuh Oce. Padahal, gelombang dorongan dari masyarakat supaya presiden mengeluark­an perppu tidak pernah berhenti.

Pukat UGM pun akan mengambil sikap. Mereka berniat ikut mengajukan uji materi ke MK. ”Mempersoal­kan prosedur dan tentu materi-materi yang termuat di dalam UU KPK,” jelasnya.

Oce menyampaik­an bahwa JR merupakan salah satu opsi yang harus diambil untuk menyelamat­kan KPK. Namun, dorongan agar presiden mengeluark­an perppu akan terus disuarakan. ”Kalau judicial review berjalan dan presiden keluarkan perppu, secara hukum tidak ada masalah,” tegasnya.

Gugatan terhadap UU KPK di MK sudah berdatanga­n saat UU kontrovers­ial itu disahkan. Berdasar catatan Jawa Pos, sudah ada tiga permohonan yang masuk. Diajukan mahasiswa lintas universita­s, mahasiswa Pascasarja­na Universita­s Islam As Syafiiyah, dan advokat.

Permohonan gugatan berpotensi terus bertambah. Sebelumnya ICW dan Pusat Studi Konstitusi Andalas juga telah menyiapkan uji materi UU KPK.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia