Tidak Terbukti Fasilitasi Korupsi
Hakim Bebaskan Mantan Dirut PLN Yakin Dakwaan Tidak Lemah, KPK Pertimbangkan Kasasi
JAKARTA, Jawa Pos – Sofyan Basir mendapat vonis yang berbeda dengan tiga terdakwa lain dalam perkara suap proyek PLTU Riau-1. Kemarin (4/11) majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membebaskan mantan direktur utama (Dirut) PLN itu dari segala dakwaan jaksa.
Hakim menilai Sofyan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan penuntut umum
JSetelah institusi KPK dilemahkan, saat ini para terdakwa kasus korupsi pun diberi keringanan hukuman di persidangan.”
KURNIA RAMADHANA
Peneliti ICW
Yakni, memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Kejahatan yang dimaksud adalah memfasilitasi pertemuan Eni Maulani Saragih, Johannes B. Kotjo, dan Idrus Marham (ketiganya merupakan terdakwa dalam perkara tersebut) dengan jajaran direksi PLN. Pertemuan itu bertujuan untuk mempercepat kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dan Blackgold Natural Resources Ltd serta China Huadian Engineering Company Limited (CHEC Ltd).
Atas kesepakatan itu, Eni dan Idrus mendapat imbalan dari Kotjo. Jumlahnya Rp 4,75 miliar.
Nah, perkara yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Eni dan Kotjo pada Juli 2018 itu kemudian disidangkan secara terpisah di Pengadilan Tipikor Jakarta. Hakim memutus Eni, Kotjo, serta Idrus bersalah dan terbukti secara sah melakukan tipikor sebagaimana dakwaan jaksa KPK.
Berbeda dengan tiga terdakwa itu, jaksa KPK tidak mendakwa Sofyan menerima fee atau imbalan terkait dengan kesepakatan proyek PLTU Riau-1. Jaksa menjerat Sofyan dengan pasal 12 huruf a juncto pasal 15 UndangUndang Pemberantasan Tipikor juncto pasal 56 ke-2 KUHP terkait dengan pembantuan tindak pidana. Dalam hal ini adalah membantu Eni, Idrus, dan Kotjo melakukan korupsi.
Dalam pembacaan putusan kemarin, hakim mengungkapkan beberapa alasan untuk menjatuhkan vonis bebas bagi Sofyan. Di antaranya, Sofyan dinilai tidak mengetahui adanya fee 2,5 persen dari China Huadian Engineering bagi Kotjo. Fee itulah yang dijanjikan Kotjo kepada Eni dan Idrus. Hakim menyebut Sofyan tidak tercantum sebagai penerima fee itu. ”Terdakwa Sofyan tak memahami dan tidak tahu fee yang akan diterima Johannes Kotjo,” kata hakim ad hoc Anwar dalam amar putusan.
Selain itu, hakim menganggap Sofyan tidak mengetahui pemberian uang Rp 4,75 miliar dari Kotjo untuk Eni yang kala itu menjabat anggota Komisi VII DPR dan Idrus, mantan Sekjen Partai Golkar.
Selain menyatakan Sofyan tidak bersalah, majelis hakim yang diketuai Hariono memerintahkan pembebasan terdakwa dari tahanan serta pemulihan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya. KPK juga diperintah untuk membuka blokir rekening Sofyan dan atau keluarga atau pihak terkait lainnya.
Tinggalkan Rutan Atas putusan tersebut, Sofyan langsung meninggalkan rumah tahanan negara (rutan) di gedung penunjang KPK kemarin petang. Pria kelahiran Bogor yang ditahan sejak Mei lalu itu keluar dari rutan sekitar pukul 17.50. Sejumlah kerabat dan tim kuasa hukum tampak menemani Sofyan.
”Alhamdulillah. Alhamdulillah. Saya ucapkan terima kasih banyak,” ujar Sofyan kepada awak media.
Dia terus mengumbar senyum saat meninggalkan rutan. Namun, hanya sedikit pernyataan yang keluar dari mulutnya. Dia lantas bergegas masuk ke mobil pribadinya. ”Enggak ke mana-mana. Pulang ke rumah. Mau istirahat di rumah,” ujar Sofyan singkat tentang hal yang akan dilakukannya setelah bebas.
Susilo Ari Wibowo, kuasa hukum Sofyan, menambahkan, secara umum, kliennya berterima kasih atas putusan hakim. Putusan tersebut menolak tuntutan jaksa yang menuntut hakim menjatuhkan pidana penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. ”Tuntutan KPK tidak terbukti sehingga amarnya (hakim) berbunyi membebaskan Pak Sofyan,” terangnya.
Tim kuasa hukum menyatakan siap apabila KPK mengajukan kasasi. Menurut Susilo, tidak ada pilihan selain menghadapi upaya hukum tersebut. ”Cuma, kan mesti diingat bahwa pengajuan kasasi itu bukan lagi berbicara soal fakta, tetapi soal penerapan hukumnya. Apakah kelengkapan pasal 56 ke-2 KUHP itu sudah sesuai atau belum,” paparnya.
Bagaimana tanggapan KPK atas putusan bebas pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta itu? Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menjelaskan, pihaknya akan lebih dulu melakukan diskusi internal. KPK membutuhkan waktu untuk mengambil langkah hukum. ”Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuktikan itu,” tegasnya.
Di sisi lain, jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ronald Ferdinand Worotikan menyatakan, putusan bebas Sofyan tidak berarti menunjukkan lemahnya dakwaan penuntut umum. Menurut dia, pihaknya sudah membuat surat dakwaan sesuai dengan hasil penyidikan. ”Kalau seperti itu (vonis bebas, Red), kan sepenuhnya hak majelis,” ujarnya.
Secara umum, jaksa mengaku kaget atas putusan bebas tersebut. Namun, mereka tetap menghormati putusan hakim. Jaksa akan mempelajari isi putusan guna menentukan langkah hukum kasasi. ”Secara psikologis, memang kami kaget dengan putusan ini,” terangnya. ”Yang jelas, kami pelajari dulu, baru menentukan sikap,” imbuh Ronald.
Pelemahan Pemberantasan Korupsi Sofyan Basir bukan orang pertama yang divonis bebas oleh majelis hakim pengadilan tipikor. Selain mantan Dirut BRI itu, ada dua terdakwa KPK yang pernah diputus tidak bersalah oleh hakim tipikor. Mereka adalah Mochtar Mohammad (wali kota Bekasi) dan Suparman (bupati Rokan
Hulu). Hanya, keduanya tidak disidang di Pengadilan Tipikor Jakarta (lihat grafis).
Putusan tersebut mendapat perhatian dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Kurnia Ramadhana, peneliti ICW, menyampaikan kekecewaannya atas vonis itu. Dia yakin bahwa bukti yang diajukan KPK sangat solid. Bahkan, bukti itu dikuatkan oleh fakta-fakta sidang yang kerap menyebut nama Sofyan terlibat dalam suap proyek PLTU Riau-1.
Dia berharap publik juga memperhatikan bahwa bebasnya Sofyan ini terjadi saat KPK berada di era pelemahan. Karena itu, vonis tersebut semestinya diletakkan dalam bingkai pelemahan terhadap pemberantasan korupsi. ”Setelah institusi KPK dilemahkan, saat ini para terdakwa kasus korupsi diberi keringanan hukuman di persidangan,” ungkapnya.
Sebelum bebasnya Sofyan, keringanan hukuman diterima terpidana kasus suap raperda reklamasi Jakarta Sanusi pada Jumat (1/11). Hakim Mahkamah Agung (MA) di tingkat peninjauan kembali (PK) mengurangi hukuman Sanusi dari 10 tahun penjara menjadi 7 tahun.
Saor Siagian dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menambahkan, vonis bebas Sofyan menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sudah tidak ”takut” kepada KPK. Karena itu, para hakim itu merasa nyaman memutus suatu kasus di zona fifty-fifty. ”Maksudnya, fifty-fifty antara terbukti atau tidak punya bukti,” jelasnya.
Dia juga menilai, berlakunya UU KPK yang baru mengurangi pengawasan dan pemantauan KPK terhadap aparatur pengadilan. Kondisi itu memberikan efek psikologis yang menguntungkan mafia peradilan. ”Sekarang ini, kalau UU KPK baru dilakukan, tinggal revolusi saja,” tegas advokat berkepala plontos itu.