Jawa Pos

Desa Wisata yang Terkendala Sampah Melimpah

Tantangan daerah wisata di Indonesia begitu beragam. Bisa infrastruk­tur yang belum memadai. Atau permasalah­an sampah menggunung seperti yang dihadapi Desa Tenun Papande, Pulau Sibandang, Danau Toba.

- DEBORA DANISA SITANGGANG, Tapanuli Utara, Jawa Pos

PULUHAN wisatawan yang hendak menikmati Festival Babi Danau Toba 1.0 di Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 25–26 Oktober lalu, punya alternatif jujukan. Parhobas alias panitia menyediaka­n tur berkunjung ke desa tenun. Untuk mencapainy­a, pengunjung mesti

menyeberan­g dengan menggunaka­n kapal kecil dari Pelabuhan Muara yang baru dibangun.

Banyak orang yang mengira bahwa di tengah danau terbesar di Indonesia itu hanya ada satu pulau, Samosir. Namun, dari arah Muara, ada pulau kecil lain yang lebih dekat, yakni Sibandang.

Di Pulau Sibandang inilah terletak Desa Papande. Sebagian besar warganya menenun ulos. Dilandasi rasa penasaran, banyak pengunjung yang tertarik dan mendaftar ikut tur singkat itu. Tiketnya terbilang murah, Rp 10 ribu pulang-pergi.

Pukul 10.30, kapal mesin bermuatan sekitar 123 orang berangkat menuju Pulau Sibandang. Jaraknya jauh lebih dekat jika dibandingk­an ke Pulau Samosir. Hanya memakan waktu sekitar 20 menit, ditambah waktu sebentar untuk mengisi bahan bakar. Total 30 menit perjalanan kapal itu menuju Desa Papande

Tidak ada penunjuk apa pun di dermaga yang hanya berupa beton memanjang dengan kondisi agak bocel di sana-sini. Tidak ada gapura sambutan selamat datang. Sampai-sampai, peserta tur tidak ngeh dan harus diworo-woro panitia bahwa mereka sudah sampai di lokasi.

Pemandanga­n lebih mengejutka­n langsung menyapa begitu masuk ke pulau. Di balik semak-semak yang memisahkan daratan dengan air danau, terdapat sepetak besar tanah kosong yang dipenuhi sampah plastik.

Erison Siregar, pemuda asli Pulau Sibandang, menyambut pengunjung di depan salah satu rumah warga. Bukan rumahnya, melainkan rumah seorang nenek yang kerap disapa Opung Boraturi. Opung Boraturi langsung tanggap melihat banyaknya pengunjung dan mulai menyisiri benang tenunannya. ”Supaya (pewarnanya) cepat kering,” jelasnya.

Erison membuka semacam tur mini siang itu. ”Di desa ini, warga rata-rata menenun. Tadinya kami pakai pewarna sintetis, tetapi sekarang coba dikembangk­an pewarna alami,” ujarnya. Dialah pemuda yang menggagas penggunaan pewarna alami untuk kain tenun. Meski memang membuat harga kain lebih mahal.

Praktik pewarnaan alami itu berpusat di rumahnya, yang terletak agak masuk ke bagian tengah pulau. Meninggalk­an kompleks rumah-rumah panggung di bibir danau, Erison mengajak pengunjung melewati setapak di tengah hutan kecil. Sepanjang jalan setapak itu pun, yang terlihat adalah sampah plastik bercampur tanah, terinjak sepatu orang-orang yang lewat.

”Sebenarnya ada jalan lain yang memutar kalau mau ke rumah. Tapi, sengaja lewat sini karena lebih dekat dan bisa kelihatan kondisinya seperti ini,” ungkapnya.

Siang itu empat perempuan sedang bekerja. Dua orang menenun dan dua lainnya menghani benang. Melilitkan benang pada alat untuk membuat motif benang sebelum ditenun. Meski ditonton banyak orang, tangan mereka terus bekerja dengan cekatan.

Produk ulos buatan Erison cukup banyak dipasarkan di luar pulaunya. Antara lain, Dekranasda Tapanuli Utara dan bandara di Sumatera Utara. Selembar ulos sepanjang satu meter diberi harga Rp 350 ribu.

Di rumahnya, tidak ada ulos jadi yang siap dibeli. Semua yang dibuat hasil pesanan. Pengunjung yang mau membeli langsung harus mengurungk­an niat memborong ulos di sana dan mencarinya di tempat lain.

Setidaknya, ada 12 orang yang bekerja dengan Erison untuk menenun di Desa Papande. Sebagian besar bekerja di rumah masing-masing. Kadang datang ke rumah Erison sekalian bertemu dengan sesama penenun. Meski dibantu banyak orang, untuk urusan motif dan pewarnaan, Erison biasanya turun tangan sendiri.

Memberikan pewarna alami susah-susah gampang. Bergantung ketersedia­an bahan. Erison memanfaatk­an apa yang ada di desanya. Misalnya, untuk warna kuning dan merah, dia menggunaka­n batang pohon mahoni. Yang paling sulit warna hitam.

”Dulu kami biasa pakai lumpur amis yang ada di tanah. Tinggal ambil. Sekarang sudah jarang. Itu yang bikin susah. Masih kami cari penggantin­ya,” tuturnya.

Erison menggeluti dunia tenun sejak 2012. Namun, dia baru benar-benar beralih ke pewarna alami pada 2015. Dia juga beralih dari benang kasar ke benang halus. Tidak semua benang yang dipakai menggunaka­n pewarna alami. ”Ada yang kami beli memang sudah berwarna. Tapi, kalau untuk yang mau diwarnai secara alami, kami beli benang putih,” jelasnya.

Kegiatan menenun biasanya lekat pada perempuan. Erison mengaku tertarik pada tenun-menenun karena sering melihat ibunya dan tetangga-tetangga perempuan membuat ulos. Mengatur motif jadi tantangan tersendiri yang membuat Erison ”ketagihan” menenun.

”Waktu pewarnaan, kami biasanya pakai teknik ikat supaya warnanya sudah langsung bermotif sebelum ditenun,” katanya.

Jadi, sama seperti kain tenun Indonesia pada umumnya, motif pada ulos tidak dibuat setelah kain jadi, tetapi sejak kain belum ditenun. Dibutuhkan kecermatan dan perhitunga­n yang tepat supaya motifnya tidak melenceng.

Karena menggunaka­n pewarna alami yang cukup sulit diproses, Erison mengaplika­sikan motif yang disederhan­akan dari yang ada. ”Kadang saya ambil sebagian. Misalnya, dari motif tongara idup,” ujarnya sambil menunjukka­n selembar ulos contoh.

Melihat potensi desanya yang sebenarnya besar, Erison punya keinginan agar desanya juga benar-benar bisa jadi destinasi wisata. Dia berharap, dengan mulai banyaknya pengunjung yang datang ke Sibandang, masyarakat sekitar punya kesadaran untuk menjaga kebersihan pulau tempat mereka tinggal. Selain agar bersih dan nyaman ditinggali, wisatawan tidak terganggu oleh banyaknya sampah yang nyaris jadi makanan babi.

 ?? DEBORA DANISA SITANGGANG/JAWA POS ?? GUNAKAN PEWARNA ALAMI: Erison Siregar memperliha­tkan proses pembuatan kain ulos di Desa Tenun Papande yang menjadi tempat wisata.
DEBORA DANISA SITANGGANG/JAWA POS GUNAKAN PEWARNA ALAMI: Erison Siregar memperliha­tkan proses pembuatan kain ulos di Desa Tenun Papande yang menjadi tempat wisata.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia