Jawa Pos

Komisi II dan KPU Sepakat Hadang Eks Koruptor

Tapi Tak Yakin Bisa Revisi UU Pilkada

-

JAKARTA, Jawa Pos – Komisi II DPR mulai goyah atas keputusan tidak merevisi UU Pilkada. Konsultasi dua rancangan peraturan KPU di DPR kemarin (4/11) menunjukka­n bahwa ada sejumlah hal yang buntu. Tidak bisa diselesaik­an hanya di level peraturan teknis. Harus ada UU yang direvisi agar sejumlah hal di pilkada mendapatka­n kepastian hukum.

Salah satu yang buntu adalah persoalan boleh tidaknya eks koruptor mencalonka­n diri sebagai kepala daerah. KPU sejak awal ngotot memasukkan klausul larangan tersebut ke PKPU Pencalonan Pilkada 2020. ”Kami menyadari sepenuhnya, ada fakta hukum (dibolehkan­nya eks koruptor, Red),” terang Ketua KPU Arief Budiman kemarin.

Hanya, ada fakta-fakta baru yang membuat KPU yakin bahwa larangan tersebut harus masuk. Misalnya, adanya tersangka kasus korupsi yang ditahan tapi memenangi pilkada. Alhasil, dia tetap tidak bisa memimpin karena masuk bui. Fakta lain adalah bupati yang menjadi residivis kasus dugaan korupsi saat memimpin di periode kedua. Pada periode pertamanya, dia juga terjerat kasus korupsi.

Fakta-fakta itulah yang membuat situasi saat ini berbeda dengan sebelumnya, kala klausul larangan tersebut dikandaska­n lewat uji materi. Yang pertama adalah uji materi di Mahkamah Konstitusi pada 2015 soal larangan bagi eks terpidana untuk mencalonka­n diri sebagai kepala daerah. Kemudian, uji materi di Mahkamah Agung terkait dengan larangan eks koruptor di PKPU Pencalonan Pileg 2018.

Beberapa anggota Komisi II DPR pun sepakat dengan KPU. Salah satunya Johan Budi Sapto Pribowo. ”Saya sepakat bahwa (mantan, Red) terpidana korupsi sebaiknya memang tidak mencalonka­n diri sebagai kepala daerah,” ujarnya. Hanya, memang ada problem karena UU Pilkada tidak mengatur larangan tersebut.

Demikian pula beberapa hal lain yang diajukan oleh KPU untuk masuk dalam UU Pilkada. Yakni, penggunaan rekapitula­si elektronik dan legalisasi salinan formulir digital untuk para pihak di pilkada. ”C1 plano difoto, kemudian disebar ke seluruh peserta pemilu,” tambah Arief. Rekapitula­si elektronik akan meringanka­n kerja panitia pemilihan kecamatan (PPK), sementara salinan digital meringanka­n kerja kelompok penyelengg­ara pemungutan suara (KPPS) di TPS.

Terkait dengan hal tersebut, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyatakan bahwa urgensi revisi UU Pilkada akan terkait dengan substansi dan waktu. Komisi II sudah sepakat bahwa akan ada evaluasi menyeluruh tentang kepemiluan. Baik pileg, pilpres, maupun pilkada. ”Sambil berjalan, nanti kita lihat materi apa saja yang memang sudah kelihatan harus direvisi,” terangnya seusai rapat.

Selanjutny­a, akan dilihat urgensinya. Juga, apakah waktunya memungkink­an untuk merevisi UU Pilkada. Dia mencontohk­an perubahan nomenklatu­r Bawaslu. Kalau perubahan itu dilakukan lewat UU, bisa tidak terkejar waktunya. Sebab, masa sidang pertama akan berakhir pertengaha­n Desember, kemudian baru dimulai lagi awal Januari.

Dengan dasar itulah, dia tetap belum berani mengatakan bahwa bakal terjadi revisi UU Pilkada dan mempertaha­nkan UU yang ada. ”Sambil kita lihat mana yang memang bisa ditutupi kelemahann­ya lewat PKPU dan mana yang harus direvisi,” tambahnya. Kalaupun memang harus merevisi, akan dilihat lagi substansi dan waktu revisi.

 ?? HENDRA EKA/JAWA POS ?? BAHAS PKPU: Ketua KPU Arief Budiman (tengah) berbincang dengan anggota Komisi II DPR Johan Budi (kanan) dan Arif Wibowo di Gedung Nusantara, Jakarta, kemarin.
HENDRA EKA/JAWA POS BAHAS PKPU: Ketua KPU Arief Budiman (tengah) berbincang dengan anggota Komisi II DPR Johan Budi (kanan) dan Arif Wibowo di Gedung Nusantara, Jakarta, kemarin.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia