Jawa Pos

Tren Ketakutan Berekspres­i Meningkat

-

JAKARTA, Jawa Pos – Penurunan persepsi kebebasan sipil di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo tidak bisa lagi dianggap remeh. Grafik survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukka­n bahwa masyarakat semakin merasa tidak aman untuk berekspres­i. Pemerintah pun dituntut memberikan solusi konkret yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan sipil benar-benar dilindungi.

Tren dalam tiga kali akhir masa jabatan presiden menunjukka­n adanya peningkata­n rasa takut masyarakat dalam berekspres­i. Yakni, Juli 2009, Juli 2014, dan Mei–Juni 2019. Mulai ketakutan berbicara masalah politik, ketakutan atas penangkapa­n semena-mena oleh aparat hukum, ikut atau bergabung pada organisasi, hingga takut melaksa

nakan ajaran agama (lihat grafis).

Pengamat politik Jeirry Sumampow menyampaik­an, saat ini tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah tampak. Sadar atau tidak, Jeirry melihat pemerintah sudah membuat masyarakat takut untuk berekspres­i. Khususnya menyampaik­an kritik. ”Menurut saya, kita terancam juga kebebasann­ya,” ungkap dia kemarin.

Jeirry menegaskan, sudah banyak masyarakat yang menyampaik­an suara kritis, tetapi kemudian dibungkam. ”Di zaman Jokowi, orang bebas bicara iya. Tapi, besok dipanggil,” imbuhnya. Walau tidak diproses hukum, panggilan tersebut tetap berpengaru­h. UU ITE, lanjut dia, yang paling banyak dipakai untuk membungkam kritik masyarakat.

Menurut Jeirry, orang yang mengkritik lantas dipanggil aparat kebanyakan enggan lagi melakukan hal serupa. ”Kalau orang satu kali dipanggil, besok dia nggak mau kritik lagi,” kata dia. Itu sama saja dengan bentuk intimidasi. ”Syok intimidasi,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, itu bukan kabar baik bagi demokrasi di tanah air.

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawa­rdani mengingatk­an bahwa kebebasan sipil dimaknai sebagai kebebasan yang tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hukum. Dia juga menjelaska­n, dalam demokrasi, kekuasaan tidak lagi memusat pada negara. Kekuasaan terdistrib­usi ke banyak lembaga dan organisasi, juga kelompok kepentinga­n. ’’Kita melihat konflik horizontal antara masyarakat secara sosial juga terjadi,’’ tambahnya.

 ?? GRAFIS ADITYA/JAWA POS ??
GRAFIS ADITYA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia