Anggota Baru DPRD Belum Bahas Raperda
SURABAYA, Jawa Pos – Banyak yang menagih pembahasan revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Rancangan perda itu tak bisa diselesaikan oleh DPRD Surabaya periode 2014–2019, yang masa jabatannya habis 24 Agustus lalu. Hingga dua bulan bekerja, DPRD Surabaya yang baru tak kunjung menyentuh pembahasan raperda tersebut.
Mantan Kepala Inspektorat Surabaya Agoes Winajat sangat getol untuk menyuarakan revisi perda itu
J
Dia membuat surat tanggapan atas mandeknya pembahasan raperda PBB dan rencana kenaikan PBB 2020. Ada lima poin yang dia sampaikan dalam surat yang ditulis tangan itu.
Pertama, dia mempertanyakan mengapa kenaikan APBD dijadikan alasan kenaikan PBB. Kedua, dia berharap wilayah yang berkembang diberi waktu paling tidak setahun untuk menikmati perubahan. Misalnya Middle East Ring Road (MERR). Rumah dan tanah pertanian di wilayah itu berubah peruntukan untuk perdagangan dan usaha jasa. Otomatis, nilai jual aset warga di kanan dan kiri jalan tersebut makin mahal. ”Paling tidak, biarkan mereka menikmatinya selama setahun,” kata pria yang tinggal di Gayungsari tersebut.
Ketiga, usaha pertambakan sangat dipengaruhi cuaca. Setiap tahun hasil perikanan di Surabaya makin turun. Seyogianya para pengusaha itu tidak dibebani PBB yang terus-menerus naik. Keempat, perubahan nilai jual objek pajak (NJOP) yang rencananya dilakukan sejak awal tahun harus memperhatikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK. 07 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian PBB. ”Sehingga kenaikan NJOP tidak dipukul rata,” papar Agoes.
Yang terakhir, dia menyuarakan upaya DPRD Surabaya yang membahas revisi Perda PBB sejak akhir 2018. Namun, di DPRD periode baru, perda itu belum disentuh sama sekali.
Pakar hukum Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Eko Sagitario juga menagih revisi itu. Selama ini dia juga mengawal pansus dalam pembahasannya. Dia mengusulkan agar raperda tersebut dibahas lagi tanpa memulai dari nol. ”Yang sudah dikerjakan saja dilanjutkan. Saya berharap usulan saya direalisasi,” ujar guru besar pertama Ubaya itu.
Sebelumnya, Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) menerangkan, kenaikan PBB terjadi karena beban belanja naik. Ada kenaikan beban belanja hingga Rp 800 miliar yang membuat APBD 2020 menembus Rp 10,3 triliun. Akibatnya, target PBB dinaikkan dari Rp 1,155 triliun menjadi Rp 1,307 triliun.
Eko paham dengan kenaikan belanja tersebut. Namun, dia berharap pemerintah tak hanya mengandalkan pendapatan dari sektor pajak. Menurut dia, itu tak beda jauh dengan upeti di sistem pemerintahan monarki. ”Indonesia kan tidak begitu. Cari pendapatan dari badan usaha lah,” katanya.