Dokter Tidak Mau Dilibatkan
Apabila Hukuman Kebiri Kimia Diterapkan
Ketua IDI Jawa Timur
SURABAYA, Jawa Pos – Tuntutan kebiri kimia terhadap Memet, pelaku pencabulan 15 siswa, menjadi polemik. Sebab, hingga kini belum ada peraturan pelaksana UU No 17 Tahun 2016 yang menjadi dasar diberikannya tuntutan kebiri tersebut. Di sisi lain, hukuman kebiri kimia ditolak Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Ketua IDI Jawa Timur dr Poernomo Boedi S. SpPD K-GEH FINASIM mengatakan bahwa dokter tidak memiliki kompetensi untuk melakukan kebiri kimia
JBerupa pendeteksi elektronik dan identitas pelaku bisa diumumkan.
Kebiri kimia dapat dilakukan paling lama dua tahun setelah menjalani pidana pokok. Kebiri kimia harus disertai rehabilitasi yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
”Tidak ada kompetensinya, baik untuk dokter umum maupun dokter spesialis,” paparnya.
Dengan tidak adanya kompetensi tersebut, menurut dia, hukuman itu tidak mungkin dilakukan seorang dokter. Meski obatnya sudah disediakan penegak hukum, dokter tetap menolak untuk melakukannya. ”Karena kami tidak bisa menjamin, apakah nanti obatnya ada efek samping atau kurang dosis,” tutur Poernomo.
Di luar negeri, kata dia, memang sudah ada hukuman kebiri kimia. Namun, obat apa yang disuntikkan, Poernomo mengaku tidak tahu. ”Karena memang selama ini kami tidak dapat pelajaran soal itu,” katanya.
Dia melanjutkan, mestinya hal tersebut sudah diketahui pembuat hukum. Dengan begitu, dokter tidak perlu dilibatkan dalam hukuman kebiri kimia. ”Kami punya kode etik juga yang tidak mengatur soal kebiri kimia,” terangnya.
Di sisi lain, tuntutan kebiri kimia mendapat apresiasi dari para aktivis perlindungan anak. Kebiri kimia, lanjut dia, dimaksudkan untuk membuat pelaku jera. Aktivis yakin bila kebiri kimia diterapkan, predator anak tidak akan merajalela. Tis’at Afriyandi, pendamping korban dari Surabaya Children Crisis Center (SCCC), mengapresiasi langkah kejaksaan.
”Mereka (para pelaku cabul, Red) kan bisa mikir nanti, mencabuli korban di bawah umur sekarang bisa dikebiri. Jadi, para predator anak bisa berkurang,” ujarnya.
Saat ini kasus pencabulan terhadap anak begitu marak. Lihat saja, sudah belasan kali polisi menangkap pelaku cabul. Dari banyak kasus yang ditangani, pelaku cabul biasanya orang dekat.
Bagi jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, tuntutan kebiri kimia kepada Memet merupakan tuntutan pertama untuk pelaku cabul terhadap anak-anak. Kasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Richard Marpaung mengatakan bahwa pertimbangan jaksa terkait tuntutan tersebut berdasar pada keterangan korban dan pelaku.
Tindakan Memet, kata Richard, ngawur dan bejat. Seharusnya perbuatan tersebut tidak dilakukan pendidik seperti Memet. ”Perlu dicatat, dalam aturan perlindungan anak (UU No 17 Tahun 2016, Red) hukuman bisa bertambah berat jika pelaku adalah keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama,” terangnya.
Richard menambahkan, perbuatan itu juga dilakukan lebih dari sekali. Dalam UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan, hukumannya bisa ditambah sepertiganya.
Richard mengatakan, dalam memberikan tuntutan, jaksa juga mengukur dampak psikologis korban. ”Kami mendalami pasal 81 ayat 7 Undang-Undang Perlindungan Anak. Untungnya, tidak sekalian kami tuntut untuk diberi pendeteksi elektronik,” ucapnya.
Nah, untuk pelaksanaan kebiri kimia, lanjut Richard, perlu adanya peraturan pelaksana. Hingga saat ini, hal itu masih dibicarakan antarinstansi terkait. Misalnya, bidang hukum, pemerintahan, dan kesehatan. ”Ini kan baru tuntutan. Bisa saja hakim memutus hal lain,” ujar Richard.