Jawa Pos

Pemda Ikut Usulkan APBN Danai Pilkada

Kemendagri Janji Problem Anggaran Tuntas Pekan Ini

-

JAKARTA, Jawa Pos – Solusi pendanaan pilkada yang selama ini didorong penyelengg­ara dan masyarakat sipil, tampaknya, tidak bertepuk sebelah tangan. Sejumlah pemda setuju dengan ide pendanaan pilkada dari APBN. Bahkan, mereka ikut mewacanaka­n solusi tersebut agar pendanaan pilkada ke depan lebih pasti.

Hal itu disampaika­n Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddi­n saat ditemui di kompleks parlemen kemarin (6/11). Salah satu alasan yang dikemukaka­n pemda adalah kepraktisa­n. ’’Karena pembahasan anggaran pilkada begitu lama,’’ terangnya. Pembahasan sering berjalan alot dan ada pula yang buntu.

Selain itu, sesama pemda sebenarnya juga saling melihat anggaran yang dikucurkan tetanggany­a. Kadang daerah juga bertanya-tanya, mengapa anggaran yang harus dikeluarka­n lebih besar daripada tetanggany­a. Padahal, dari sisi kebutuhan, diprediksi tidak banyak berbeda antara daerahnya dan tetangga.

Atas dasar itulah, pemda ikut mengusulka­n agar pilkada dibiayai APBN. ’’Nanti dipotong dari DAU (dana alokasi umum),’’ lanjut Syarif. Harapannya, mereka tidak perlu lagi pusing membahas anggaran pilkada. Standar antara daerah satu dan daerah lainnya juga bisa sama. Tidak ada lagi saling intip anggaran.

Sejak awal, penyelengg­ara pilkada maupun elemen masyarakat sipil getol menyuaraka­n pembiayaan pilkada dari APBN. Bukan menganggar­kan secara khusus, melainkan memotong alokasi dana transfer untuk daerah yang pilkada pada tahun tersebut. Karena itu, tetap saja pemda yang membiayai, namun dikeluarka­n pusat.

Keuntungan­nya, pendanaan lebih pasti tanpa harus membebani APBN. Selain itu, standar biaya di tiap daerah bisa diseragamk­an. ’’Juga jauh lebih aman agar tidak terjadi politisasi anggaran pilkada di daerah bagi pihak-pihak yang berkepenti­ngan,’’ terang Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi.

Sementara itu, dibutuhkan waktu lebih dari satu bulan untuk memastikan anggaran pilkada serentak 2020 tercukupi. Dari sisi Bawaslu saja, masih ada enam daerah yang belum teken naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) hingga Selasa (5/11). Masingmasi­ng Nias Selatan, Pematangsi­antar, Sibolga, Pangkajene Kepulauan, Bolaang Mongondow Timur, dan Provinsi Sulawesi Tengah.

Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar menjelaska­n, salah satu problem pendanaan pengawasan pilkada adalah keraguan terhadap kedudukan hukum Bawaslu. Khususnya di level kabupaten/kota. Sebab, lembaga yang diatur dalam UU 10/2016 tentang Pilkada adalah panwaslu yang bersifat ad hoc, bukan Bawaslu permanen.

Pihaknya sudah menyampaik­an kepada jajarannya sejak awal untuk menggunaka­n diskresi. Sebab, kelembagaa­n Bawaslu juga dilindungi UU Pemilu. Sebab, hasil seleksi pengawas berdasar UU Penyelengg­ara Pemilu bisa ditetapkan sepanjang sesuai dengan UU Pemilu. ’’Panwas atau Bawaslu kabupaten/kota memiliki legal standing untuk mengusulka­n, membahas, dan menandatan­gani NPHD,’’ ujarnya.

Menanggapi NPHD yang belum tuntas, Syarif memastikan bahwa kemarin ada lagi yang teken. Hanya, dia menyatakan tidak hafal daerah mana yang teken. ’’Yang belum teken dengan keduanya (KPU dan Bawaslu) tinggal satu, yakni Kabupaten Pangkep,’’ tuturnya.

Pada prinsipnya, ujar Syarif, Kemendagri sudah berupaya maksimal untuk memastikan anggaran tersedia. Yakni, memanggil pemda yang belum teken NPHD dan menyisir anggaranny­a. ’’Pekan ini tuntas,’’ janjinya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia