Baktiono Usulkan Perpendek Lebar Makam
SURABAYA, Jawa Pos – Pemkot menganggarkan ratusan miliar rupiah untuk perluasan makam. Kalangan dewan mulai memikirkan cara agar tanah yang dibeli tidak cepat habis. Salah satunya adalah memperpendek lebar makam.
Pada 16 tahun silam, DPRD Surabaya membuat peraturan daerah tentang makam. Ketua Komisi C Baktiono ikut menentukan arah pembahasan pansus perda tersebut. Saat itu, terjadi perdebatan mengenai ketentuan jarak antarmakam. ’’Ternyata, sekarang baru terasa. Makam yang ditentukan dalam perda itu terlalu besar dan menghabiskan lahan,’’ ucap Baktiono kemarin (6/11).
Dalam Perda Nomor 13 Tahun 2003 tentang Makam dijelaskan bahwa lebar setiap makam 1,25 meter. Panjangnya 2,5 meter. Kedalamannya minimal 1,5 meter. Ada juga jarak antarmakam yang panjangnya 0,5 meter.
Baktiono merasa ketentuan tersebut perlu direvisi. Ketentuan itu sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman. Lahan makam makin terbatas, sedangkan kebutuhan makam setiap hari mencapai 30 jenazah.
Dia mengusulkan agar lebar makam diperkecil dari 1,25 meter menjadi 0,5 meter. Gundukan pada makam juga perlu dihilangkan. Dengan begitu, yang ada adalah tanah lapang dan nisan penanda. Jika usulan tersebut diterapkan, dia yakin lahan itu bisa menampung jenazah hingga dua kali lipat.
Menurut dia, pengurangan lebar makam lebih baik dilakukan ketimbang harus menumpuk jenazah di liang yang sama. Hal itu dilakukan di banyak makam pemkot yang lama.
Masalahnya, perubahan aturan tersebut harus dibahas di DPRD Surabaya. Perlu penyusunan naskah akademik hingga pembahasan pansus untuk menyelesaikannya. ’’Tapi, ini sebenarnya urgen. Untuk sementara, bisa pakai perwali dulu,’’ katanya.
Persoalan makam tersebut sempat dibahas komisi C saat pembahasan anggaran APBD 2020. Anggota dewan mengeluhkan tingginya beban belanja pembebasan makam, tapi masih banyak warga yang menumpuk makam di makam lama. Banyak warga yang menolak untuk memakamkan keluarga mereka di makam baru di Keputih maupun Babat Jerawat.
Pakar Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Ronggo Warsito menyatakan, perilaku menumpuk atau menumpangkan jenazah sudah lama terjadi. Hal itu akan sulit diubah, tapi bukan tidak mungkin. ’’Sebab, kondisi masyarakat perkotaan ini lebih rasional,’’ ujarnya.
Menurut dia, penumpukan jenazah dalam satu makam terjadi akibat pertautan antara kepercayaan yang berulang. Praktik tersebut menjadi sebuah keyakinan. Mereka meyakini bahwa makam keluarga harus berdekatan. Tak boleh terpencar. ’’Kalau sudah berbicara keyakinan, ya susah,’’ tuturnya.