Sudah Ada Tiga Reservoir, Tambah Lagi Tahun Depan
SURABAYA, Jawa Pos – Pembangunan penyimpanan air raksasa (reservoir) di Kedung Cowek, Kenjeran, terus berlanjut. Sampai saat ini, proses pembangunan telah mencapai 45 persen. Beberapa komponen mulai terpasang.
Di antaranya, dua buah pipa berukuran 200 milimeter. Kemudian, tempat penampungan air berukuran 10 x 20 meter. Kini pengerjaannya tinggal tahap pengecoran tempat penampungan air. ”Setelah semua infrastruktur bangunan selesai, barulah dua mesin pompa dipasang,” ujar Sekretaris PDAM Surya Sembada Bambang Eko Sakti kemarin (6/11).
Dia menegaskan, Desember semua pengerjaan pembangunan reservoir harus selesai. ”Sehingga reservoir bisa difungsikan,” kata Bambang. Reservoir tersebut dapat menampung 250 ribu liter air.
Jumlah air yang tertampung di reservoir itu bisa berdampak positif kepada para pelanggan di Surabaya Utara. Khususnya di wilayah Kecamatan Bulak, Kenjeran, dan Semampir. Debit air yang mengalir ke wilayah tersebut pun akan lebih kencang. Volume tidak lagi kecil, bahkan sampai mampet. ”Tekanan pada pompa 240 liter per detik. Sesuai dengan kebutuhan di lokasi,” ujarnya.
Pembangunan reservoir di Kedung Cowek tersebut menambah tempat penampungan air raksasa di Surabaya Utara. Yakni, menjadi tiga reservoir. Dua lainnya berada di Krembangan dan Pegirian.
Meski jumlah itu sudah dinilai cukup, penambahan akan tetap dilakukan. Pada 2020, satu unit reservoir akan kembali dibangun. Tepatnya di Kalijudan. ”Reservoir terus kami tambah. Karena setiap hari, bulan, atau tahun, pelanggan PDAM selalu bertambah. Karena itu, kami harus mencukupi kebutuhan air para pelanggan,” paparnya.
SURABAYA, Jawa Pos – Penyalahgunaan lahan bekas tanah kas desa (BTKD) di wilayah Kecamatan Kenjeran marak terjadi. Ribuan bangunan liar (bangli) berdiri di atas tanah milik pemerintah.
Kelurahan maupun kecamatan telah mendata serta memberikan peringatan kepada warga yang mendirikan bangli di atas lahan BTKD. Bangli harus dibongkar dan penghuninya harus pindah. Namun, upaya tersebut belum menuai hasil signifikan.
Pendiri bangli tidak mau angkat kaki. Mayoritas mengklaim tanah itu sudah menjadi milik mereka. Lahan itu mereka beli dari pihak yang mengaku petugas pemerintahan. Harganya sangat murah dan transaksi ”jual beli” tanah hanya dibuktikan lembar kuitansi. ”Tanpa adanya sertifikat tanah. Kalaupun ada, sertifikat tanah tersebut palsu,” kata Sekretaris Camat Kenjeran Sukanan kemarin (6/11).
Hal tersebut dibuktikan dari data yang dikeluarkan Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Surabaya. Sertifikat tanah yang dipegang warga tidak tercatat. Lahan yang mereka tempati masih berstatus lahan BTKD atau milik Pemkot Surabaya. Juga, tidak ada pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). ”Ya, memang lahan yang mereka gunakan tidak tercatat sebagai kepemilikan pribadi,” lanjutnya.
Di Kecamatan Kenjeran, lanjut Sukanan, penyalahgunaan tanah BTKD untuk kepentingan pribadi terjadi di beberapa kelurahan. Di antaranya, Sidotopo Wetan, Tanah Kali Kedinding, Tambak Wedi, dan Bulak Banteng. ”Paling banyak di Bulak Banteng. Dari 160.242 meter
Kelurahan Tanah Kali Kedinding. Luas lahan BTKD 13.941 meter persegi. Sebanyak 30 persennya didirikan bangunan liar.
Kelurahan Sidotopo Wetan. Luas lahan BTKD 113.675 meter persegi. Sebanyak 70 persennya didirikan bangunan liar.
Kelurahan Bulak Banteng. Luas lahan BTKD 160.242 meter persegi. Sebanyak 80 persennya alias hampir keseluruhan didirikan bangunan liar.
Kelurahan Tambak Wedi. Luas lahan BTKD 251.039 meter persegi. Sekitar 20 persennya didirikan bangunan liar.
BTKD: bekas tanah kas desa persegi, 80 persennya disalahgunakan untuk pendirian bangunan. Mulai rumah tinggal, usaha, sampai pergudangan,” paparnya.
Lurah Bulak Banteng Teguh Abadi mengakui hal tersebut. Banyak bangli yang bermunculan di lahan BTKD. Di antaranya, Gang Pandu 4, Pandu 5, Dukuh Bulak Banteng Sekolah 9-A, dan Dukuh Bulak Banteng Gang Makam.
Pihaknya sudah sering memberikan teguran kepada warga dengan melampirkan surat penguasaan pemkot atas lahan itu. Menurut Teguh, warga menyadari bahwa lahan yang mereka tempati bukan milik mereka. Namun, mereka enggan angkat kaki. ”Alasan mereka, lahan itu juga belum difungsikan pemkot,” ujar Teguh.
Meski sudah dipasangi plang tanah aset milik pemkot serta pemagaran pada lahan BTKD, upaya tersebut lagi-lagi belum maksimal. Plang dan pagar dirusak, bahkan tak jarang lenyap.
Meski begitu, Teguh menuturkan, jajarannya tidak menyerah untuk melakukan penertiban dan penyelamatan aset pemkot. Salah satunya, lebih selektif mengeluarkan identitas beralamat Surabaya. Sebab, kebanyakan penghuni bangli di lahan BTKD itu adalah pendatang.