Angkat Tema Masuknya Islam dan Manusia Purba
Agung Tato Siapkan Patung untuk Museum Pendidikan Kota Surabaya
SURABAYA, Jawa Pos – Makin dekat dengan acara peresmian Museum Pendidikan Kota Surabaya pada 10 November mendatang, Agung Suryanto pun makin sibuk menyelesaikan empat patungnya. Pematung asal Surabaya memang kebagian tugas membikin empat patung yang mewakili era prasejarah. Ketika ditemui kemarin (6/11), pria yang kerap disapa Agung Tato itu sedang melakukan finishing pada dua patungnya.
Perupa yang kerap memenangkan penghargaan tingkat nasional tersebut membuat dua tema. Dua patung dia buat dalam tema masuknya Islam. Dua patung lain dibuat untuk pembelajaran tentang manusia purba. Dia mengaku ngebut untuk menyelesaikan empat patung itu. ’’Soalnya, awalnya saya mengajukan ke Ibu’e dua bulan. Tapi, minta cepat jadi sebulan saja. Jadi, terpaksa kuliah di Jogja ditinggal dulu,’’ kata pria 49 tahun itu. Dia memang tengah menempuh pendidikan S-3 di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta.
Untuk patung manusia purba, dia memilih bentuk manusia purba Homo Mojokertensis. Sebab, setelah membaca buku karangan Yuval Noah Harari yang berjudul Sapiens, dia merasa Mojokertensis sebenarnya mirip dengan manusia purba di Ngawi. ’’Cuma, yang paling mirip dengan bentuk manusia saat ini ya Mojokertensis,’’ ucap pria kelahiran 24 Mei 1970 itu. Hanya, lanjut dia, Mojokertensis tidak mempunyai dahi. Setelah alis, langsung rambut. Dagunya juga tidak terlalu terlihat.
Setelah menemukan manusia purba yang tepat, pria yang juga seorang dosen seni rupa di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tersebut kemudian berdiskusi dengan beberapa pihak di Museum 10 November soal bahasa tubuh yang akan ditampilkan. ’’Akhirnya, terpilihlah saat membuat api. Ini ceritanya seorang bapak yang sedang mengajari anaknya bikin api lewat batu. Soalnya, membuat api itu jadi puncak peradaban,’’ jelasnya.
Patung tersebut dia buat dengan ukuran asli. Yakni, satu banding satu. ’’Soalnya, patung kalau dibuat dengan ukuran asli ini bakal bikin syok yang lihat. Kalau dikecilkan, jadi kurang hidup,’’ lanjutnya.
Sembari merapikan rambut yang terpasang di patung, dia menyampaikan kesedihannya. Yakni, perupa yang fokus dengan pembuatan patung di Surabaya masih kurang. Dia menduga hal itu terjadi karena pembuatan patung yang lebih kompleks jika
dibandingkan dengan seni lukis. Padahal, seharusnya seorang seniman terus menantang diri sendiri.
Dalam menimba ilmu seni, Agung mengaku tidak puas hanya dengan belajar arsitektur saat dirinya masih menempuh pendidikan S-1 di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag). ’’Akhirnya,
saya ambil S-1 lagi seni rupa di STKW. Terus, saya lanjut jadi dosen. Enggak lama, ternyata ada peraturan kalau dosen harus S-2. Akhirnya, ya saya kuliah lagi seni rupa di ISI Jogja dan dapat beasiswa LPDP S-3 di ISI Jogja juga. Sekarang, saya fokus di instalasi,’’ terangnya.