Konsisten Desak Presiden Terbitkan Perppu KPK
Puluhan Tokoh Bertemu Menko Polhukam
JAKARTA, Jawa Pos – Sejumlah tokoh kembali mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghentikan upaya pelemahan KPK. Mereka tetap meminta Jokowi menerbitkan perppu untuk menyelamatkan KPK.
Desakan tersebut disampaikan melalui Menko Polhukam Mahfud MD dalam pertemuan dengan puluhan tokoh di kantornya tadi malam (11/11). Mayling Oey, salah seorang tokoh dari Universitas Indonesia (UI), menyatakan bahwa tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan itu tetap menghendaki terbitnya perppu KPK
Kalau Pak Presiden itu kan (menilai) kurang sopan, kurang etis, orang proses sedang berjalan lalu ditimpa perppu. Itu presiden yang menyatakan.”
MAHFUD MD
Menko Polhukam
”Dan diharapkan perppu itu kalau bisa menganulir undangundang (KPK) yang ada itu,” ungkap dia saat diwawancarai seusai pertemuan. Dia menyebutkan, harapan terbitnya perppu KPK masih besar. Meski demikian, para tokoh yang hadir juga memahami langkah yang sudah diambil Jokowi. ”Bahwa presiden juga belum memutuskan apakah akan dikeluarkan atau tidak,” imbuhnya.
Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara yang turut hadir dalam pertemuan itu, menambahkan bahwa Mahfud sudah menjelaskan sikap dan posisinya saat ini.
Sebagai menteri, Mahfud harus ikut keputusan presiden. Yakni, menunggu proses judicial review (JR) yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Bivitri menuturkan, Mahfud sangat mengerti bahwa tidak ada kaitan antara perppu dan JR. Namun, karena sudah menjadi menteri, Mahfud tetap harus ikut keputusan presiden.
”Jadi, posisinya juga tidak sebebas kami-kami yang ada di luar ini,” kata dia. Bivitri memastikan, sikap para tokoh tidak berubah sedikit pun. Lewat berbagai jalan, mereka terus mendorong supaya perppu KPK diterbitkan.
Menurut Bivitri, berbagai masukan yang disampaikan para tokoh sudah dicatat Mahfud. Dia yakin masukan-masukan tersebut akan disampaikan kepada presiden. ”Kami berharap sampai Desember ada perppu,” ujar dia. Selain perppu KPK, dalam pertemuan yang turut dihadiri Goenawan Mohamad, Franz Magnis Suseno, dan Emil Salim itu, juga dibahas berbagai persoalan lain. Termasuk tentang deradikalisasi.
Dalam pertemuan tersebut, Mahfud kembali menyampaikan bahwa Presiden Jokowi bukan tidak ingin menerbitkan perppu KPK. Melainkan, belum memutuskan untuk mengeluarkan perppu tersebut atau tidak sama sekali. Keterangan itu, kata dia, disampaikan langsung oleh presiden kepada dirinya. Tentu saja tidak semua sepakat dengan pandangan Jokowi. Mahfud juga menyadari itu. Namun, dia mengatakan, presiden sudah mengambil sikap.
”Kalau Pak Presiden itu kan (menilai) kurang sopan, kurang etis, orang proses sedang berjalan lalu ditimpa perppu. Itu presiden yang menyatakan,” tegas mantan ketua MK tersebut. Untuk itu, presiden tidak buru-buru mengeluarkan perppu KPK.
Namun, sebagai bagian dari puluhan tokoh yang diundang presiden untuk datang ke istana pada 26 September lalu, Mahfud tegas menyebut dirinya akan sangat senang apabila perppu KPK cepat keluar. Sebab, sikap itu pula yang disampaikan kepada presiden dalam pertemuan dua bulan lalu. ”Tetapi, saya menteri sekarang. Ketika diangkat itu tidak ada visi menteri. Yang ada visi presiden,” ujarnya.
Dalam posisi tersebut, Mahfud menyebutkan bahwa dirinya hanya bisa menunggu presiden mengambil keputusan. Sebab, keputusan keluar atau tidaknya perppu ada di tangan presiden. Yang pasti, dia juga akan menyampaikan saran-saran kepada presiden terkait dengan perppu KPK. ”Pasti saya akan memberi pertimbangan,” kata dia.
Dewas KPK Institute of Criminal Justice and Rights (ICJR) masih menyoroti rencana pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. ICJR mendesak agar dewas ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan sistem yang seharusnya. Peneliti ICJR M. Eka Ari Pramudita menilai, keberadaan dewas menyalahi sistem dan over-authority. ”Secara sistem seharusnya tidak ada dewan pengawas. Kewenangannya terlalu banyak,” papar Ari kemarin (11/11). Dewas punya terlalu banyak tugas yang justru bisa menghambat upaya penanganan kasus korupsi. Mulai mengeluarkan izin penyadapan, menyusun kode etik, hingga menyelenggarakan sidang kode etik dan mengawasi pimpinan KPK.
Kewenangan yang gemuk itu, lanjut Ari, sangat rawan menjadi celah untuk praktik-praktik intervensi. ”Kami ingin tidak ada dewan pengawas itu karena membuat KPK rawan diintervensi oleh eksekutif,” terangnya.
ICJR memang tidak mendesak perppu KPK secara garis besar. Namun, satu poin itu saja sudah menjadi alasan yang cukup kuat untuk dikeluarkannya perppu. Dengan adanya perppu, otomatis keberadaan dewan pengawas bisa dibatalkan.