Jawa Pos

Dua Anak Sepiyana Terdiagnos­is Stunting

Namanya Coralina. Di usia 6 tahun ini, berat badannya hanya 6,1 kg dan tingginya 72,5 cm. Dokter menyebut dia mengalami stunting. Kondisi serupa dialami sang adik. Di antara penyebabny­a, perkawinan dini dan rendahnya pendidikan.

- FERLYNDA PUTRI, Pangkep, Jawa Pos

SEHARUSNYA tahun ini Coralina bersekolah di TK. Namun, kenyataann­ya, anak Pulau Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, itu baru mulai belajar berjalan. Ketika dipanggil, dia menengok. Matanya yang cekung menatap pemilik suara. Namun, dia tidak menjawab.

Enam tahun lalu Coralina lahir di usia kehamilan 7 bulan. Ibunya, Sepiyana, masih berusia 15 tahun.

Berat badan lahirnya 2.200 gram. Adik Coralina,AlGhazali,memilikice­ritasama.Merekadiny­atakanstun­ting.

Dokter Ayu Novita Kartikanin­gtyas yang waktu itu menjadi relawan di Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) mewawancar­ai 10 anak. ”Tujuh anak di antaranya stunting,” ucap lulusan Universita­s Brawijaya, Malang, tersebut kemarin (11/11).

Sepiyana adalah salah satu kader kesehatan di Puskesmas Sailus. Coralina sudah mendapatka­n treatment dari puskesmas. Perkembang­annya sudah membaik. Dokter Asyraf Djamaludin yang juga menjadi relawan RSTKA sempat memberikan assesment lanjut terhadap Coralina

Menurut dia, kemampuan kognitif bocah tersebut tidak bisa berkembang lebih baik. ”Otak berhenti tumbuh sampai usia 18 bulan. Setelah itu, tengkorak rapat,” ujar pria yang tengah menempuh pendidikan spesialis anak di Fakultas Kedokteran Universita­s Hasanuddin, Makassar, tersebut.

Namun, bukan berarti tak ada harapan untuk bocah itu. Psikomotor­ik dan psikososia­lnya harus diasah lagi. Menurut Asyraf, dua hal tersebut cukup membuat Coralina mandiri. ”Dia sudah mulai pinter,” ujarnya.

Pekerjaan rumah lainnya adalah menjamin nutrisi. Imunisasi lengkap dan tambahan untuk Coralina juga harus dipenuhi. Seharusnya Sepiyana dan ibu-ibu lain memenuhi kualitas gizi anak sejak dalam kandungan. Bahkan, sebelum hamil, menurut Asyraf, remaja perempuan juga harus menjaga gizinya. Setidaknya agar tidak mengalami anemia. Pernikahan dini masih menjadi momok. ”Padahal, ada risiko belum paham pola pengasuhan,” ucapnya.

Camat Liukang Tangaya Aminullah Umar mengatakan, pernikahan dini di wilayahnya masih menjadi persoalan.

Menurut ceritanya, jika sudah bisa menyelam untuk mencari ikan, laki-laki boleh menikah. Bahkan, ada tradisi, sebelum bekerja, laki-laki disarankan untuk menikah dulu. ”Sementara perempuan tidak bisa menolak ketika sudah dipilih oleh lelaki untuk dikawini,” tutur pria 55 tahun itu.

Menurut dia, salah satu upaya untuk menyelesai­kan persoalan tersebut terkait dengan akses pendidikan. Setidaknya jika kesempatan sekolah tinggi, pernikahan dapat ditunda.

Di kecamatan tersebut, sayangnya, hanya ada tiga SMA. Padahal, Liukang merupakan wilayah yang terdiri atas 25 pulau dengan total penduduk 19.582 jiwa. Sebanyak 90 persen penduduk bekerja sebagai nelayan.

Pemerintah desa, menurut dia, sudah berusaha melarang pernikahan dini. Namun, ketika tidak dibolehkan, calon pengantin menikah secara agama. Lalu, saat anak mereka akan bersekolah, barulah pasangan tersebut melapor dan dinikahkan secara negara. Semua dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan surat-menyurat.

Liukang Tangaya dikaruniai kekayaan laut yang beragam. Nelayan dapat dengan mudah mencari ikan-ikan besar, gurita, cumi-cumi, dan hasil laut lainnya. Rumput laut dapat tumbuh subur. Pohon kelapa berjejer memagari laut. Sayang, semua hasilnya dijual ke luar pulau untuk memenuhi kehidupan orang kota.

Di Pulau Matalaang, motor-motor cc (cubic centimeter) besar mirip di sinetron dengan mudah ditemui. Anak-anak mudanya dengan bangga putar-putar pulau dengan kendaraan yang dimiliki. Namun, di sana, menurut pemeriksaa­n RSTKA, 50 persen anak mengalami stunting. Anak-anak bersekolah hanya sampai SMP. Akses kesehatan hanya satu, puskesmas pembantu dengan satu bidan.

Kalau sakit parah, pasien harus dirujuk ke Makassar. Tidak ada kapal perintis. Hanya mengandalk­an perahu nelayan yang akan menyetorka­n ikan kepada juragan di kota. Begitu juga ketika akan bersekolah. Anakanak harus ke kota, indekos. Jauh dari orang tua. Biaya lagi.

Penanganan stunting sekarang menjadi program prioritas pemerintah­an Joko Widodo. ”Sumber daya alam melimpah yang dimiliki bangsa ini tidak ada apaapanya tanpa sumber daya manusia yang memiliki kecakapan dalam teknologi,” ujar Menko PMK Muhadjir Effendy.

Dia berpesan kepada semua pihak agar turut aktif memerangi stunting. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat dan organisasi pegiat lingkungan. ”Angka stunting kita saat ini masih sekitar 27 persen dan ini cukup besar,” terang dia.

Kepala Badan Kependuduk­an dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan, peningkata­n kualitas sumber daya manusia diperlukan. ”Harus mengontrol jarak kelahiran dan turunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi,” ujarnya.

Kewajiban itu tak hanya milik sektor kesehatan. Kerja sama lintas sektor harus dilakukan. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyatakan bahwa stunting ditangani bersama. Tiap-tiap lembaga dan kementeria­n memiliki alokasi dana untuk pengentasa­n stunting. ”Misalnya program kesejahter­aan keluarga yang diampu Kemensos. Peningkata­n pengasuhan melalui Kementeria­n PPPA, BKKBN, dan Kemendikbu­d,” bebernya.

 ?? SALMAN TOYIBI/JAWA POS ?? PERTUMBUHA­N TERLAMBAT: Coralina ditangani Puskesmas Sailus, Pangkep.
SALMAN TOYIBI/JAWA POS PERTUMBUHA­N TERLAMBAT: Coralina ditangani Puskesmas Sailus, Pangkep.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia