Catat Prestasi di Tengah Perjuangan Lawan Depresi
Menjadi peraih emas di ajang ASEAN Para Games 2017 mengubah hidup atlet renang Laura Aurelia Dinda Sekar Devanti. Bendera Indonesia dikibarkannya di level internasional. Membantunya mengembalikan semangat dan rasa percaya diri yang sempat luluh lantak.
RAMBUTNYA panjang berwarna cokelat. Pipinya disapu perona dengan warna yang pas hingga membuatnya terlihat segar. Selama sesi mengobrol di salah satu kafe daerah Universitas Gadjah Mada Jogjakarta itu, kakinya disilangkan dengan santai. Secara fisik semua
utuh. Tidak tampak ada yang kurang. Baru ketahuan ketika dia membutuhkan mobilisasi. Laura harus memakai kursi roda.
Kejadian terpeleset di kamar mandi pada pertengahan 2015 membuat Laura lumpuh seumur hidup. Tindakan operasi dan fisioterapi yang dilakoni tidak mampu mengembalikan fungsi kakinya.
Tidak mudah menerima kenyataan divonis cacat. Bukan cuma sakit fisik, lebih berat lagi urusan psikis. Menyandang status difabel, menurut Laura, adalah pukulan berat
Gadis 20 tahun itu menutup diri penuh, tidak mau kondisinya dilihat publik. Jalan-jalan ke pusat perbelanjaan saja malunya setengah mati. Dia bahkan pernah berniat bunuh diri. ”Saya dulu orang yang aktif, atlet, dan sekarang nggak bisa ke mana-mana,” katanya.
Untung, hal tersebut tak berlangsung terusmenerus. Perlahan, dengan dukungan keluarga, pelatih, dan teman-teman, Laura mulai menerima kondisinya. Tidak mudah. Prosesnya sangat berliku. Laura mengakui itu. ”Mereka mau membantu saya. Tapi, kalau saya nggak membantu diri saya sendiri, kan sama saja itu nggak berguna. Punya hidup, tapi membiarkan hidup sia-sia,” tuturnya.
Di tengah perjuangan melawan depresi, alumnus SMA Negeri 1 Solo tersebut mencatat prestasi. Tidak tanggung-tanggung, Laura merupakan penyumbang medali emas pertama bagi Indonesia di ajang ASEAN Para Games 2017 dari cabor renang.
Dua emas yang dibawa pulang dari Malaysia itu mengubah jalan hidupnya. Rutinitas Laura mulai berwarna. Tak melulu latihan, latihan, dan latihan. Berbagai panggilan untuk menjadi motivator berdatangan. Laura sempat berpikir, ini aneh.
Dia sendiri sedang berjuang melawan depresi, kok malah diminta memberikan motivasi. Namun, ternyata berbicara di hadapan publik mampu menjadi terapi baginya. Dia berani menceritakan fase terburuk dan usahanya untuk mendapatkan stabilitas emosi seperti sekarang.
Dari banyak undangan yang datang, Laura ternyata lebih senang menghadiri acara yang dia nggak dibayar. Sebab, kalau yang mendapat honor, biasanya dia diberi poinpoin tentang yang harus dibicarakan. Sementara di acara yang gratisan dia bisa lebih bebas. ”Aku suka menjawab pertanyaan soal bagaimana cara aku menerima diriku dengan kondisi ini,” jelas Laura.
Bertemu dengan banyak orang, saling berbagi pengalaman hidup, membuat Laura semakin menemukan ketenangan. Berkuliah di Fakultas Psikologi UGM ikut membantunya mengatasi masalah kesehatan mental. Setidaknya dia tidak lagi mengurung diri hanya untuk meratapi keadaan, menyalahkan Tuhan, dan merasa kecil hati.
”Sudah pernah lolos jurusan kedokteran, tapi pengin menggali psikologi lebih dalam. Ketika kita bisa memahami diri sendiri, orang lain pasti bisa memahami kita. Lalu juga belajar untuk menyampaikan isi pikiran dengan cara yang baik,” papar anak satu-satunya pasangan David Haliyanto dan Ni Wayan Luh Mahendra itu.
Tidak mudah bagi orang yang aktif seperti Laura menerima keadaannya. Apalagi, motivasi utamanya adalah berprestasi sebagai atlet renang supaya bisa lolos jalur khusus masuk universitas yang dinamai PBOS (penelusuran bakat olahraga dan seni). Apa yang diperjuangkannya sejak usia 7 tahun tersebut sirna seketika saat insiden buruk itu terjadi meski pada akhirnya dia tetap lolos seleksi lewat jalur tersebut dengan prestasi difabelnya.
Laura terpeleset di kamar mandi ketika kelas XI. Tepatnya sehari sebelum dia berpartisipasi dalam pekan olahraga pelajar daerah (popda). Awalnya gadis yang lahir di Pekanbaru tersebut mengabaikan. Toh cuma terpeleset. Apalagi, keesokannya dia masih bisa bertanding. Malah sukses membawa pulang dua emas. Padahal, saat itu tulang belakangnya ternyata patah akibat jatuh dalam posisi terduduk itu.
Sebulan kemudian Laura merasakan nyeri yang luar biasa saat hendak meraih telepon genggam yang tergeletak di atas ranjang. Dia ingat betul bunyi gemeretak tulangnya yang terdengar saat berusaha duduk. Sejak itu dia sudah tidak bisa bergerak. Keluarga membawanya ke rumah sakit. Operasi dilakukan. Hampir memakan waktu sebelas jam. Namun, usaha tersebut tak berhasil. ”Sarafnya sudah kena dan penanganannya terlambat. Jadi, sarafnya rusak dan nggak bisa ditolong lagi,” ungkapnya.
Hari-hari setelahnya dilalui seperti di neraka bagi Laura. Dia tidak bisa pergi ke mana-mana. Semua dibantu sang mama. Proses recovery berjalan lambat. Laura uring-uringan dengan kondisi barunya. Waktu setahun, tepatnya sepanjang 2016, jadi puncak ketidakstabilan emosi. Laura supersensitif dan menjadi cemas soal pandangan orang lain terhadap dirinya.
Gadis penyuka bayam itu juga pesimistis bisa kembali berenang seperti dulu. Namun, kecintaan pada renang membuat Laura mau menerima tawaran pelatih National
Paralympic Committee (NPC) Indonesia Gatot Doddy Djatmiko untuk kembali ke kolam. ”Saya baru tahu juga ternyata ada kompetisi olahraga untuk difabel. Dan itu dikerjakan dengan serius pula,” ujarnya.
Percobaan pertama turun ke air terjadi Februari 2016 dan langsung membuatnya kapok. Laura menangis. Bagaimana bisa berenang tanpa kaki? Dia juga minder dengan atlet difabel lainnya yang sudah jago.
Sebulan kemudian barulah Laura memantapkan hati mencoba lagi. Hingga ikut di Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XV di Bandung tujuh bulan setelahnya. Dia langsung mendapat dua emas dan satu perak. Hasil itu tidak lantas membuatnya gembira. ”Waktu turun di Peparnas, self esteem-ku
sangat-sangat rendah. Aku tahu secara logika aku pasti menang, tapi di otakku bilang kalau aku belum bisa. Karena masih struggle dengan depresi dan segala macam. Jadi, yang kulakukan hanya mencoba melihat kemampuanku tanpa berharap hasil bagus,” bebernya.
Saat itu Laura masih sering dilanda perang batin tentang kondisinya. Ketika bertanding, dia berpikir lawannya adalah orang-orang cacat. Laura tahu dirinya juga difabel. ”Tapi, aku masih membedakan antara aku dan mereka. Aku merasa kemenangan ini bukan suatu prestasi yang patut dibanggakan,” tegas Laura.
Begitu pula halnya saat ada panggilan masuk pelatnas. Laura tidak menganggap istimewa. Dia menjalaninya biasa saja. Laura mengaku masih kesulitan untuk mengatasi permasalahan hati yang berkecamuk. Dia baru benar-benar mulai berubah ketika bisa mengibarkan Sang Saka Merah Putih di kancah internasional. Prestasi-prestasi terus dicetaknya.
Saat mengikuti World Para Swimming Championships 2018 di Berlin, Jerman, Laura membawa pulang 2 emas, 2 perak, dan 1 perunggu. Sayang, prestasi yang sama tak mampu diukirnya di ajang Asian Para Games 2018. Namun, pada tahun itu dia menerima anugerah Indonesia Award sebagai Tokoh Olahraga Terbaik.
”Masih ada yang bisa aku lakukan. Aku sudah membuktikannya. Dunia itu nggak
berputar di sekitar kita. Jadi, kalau aku melihat apa yang orang pikirkan tentang aku, nggak
akan ada habisnya,” tutur dia.