Diskusi Bahas Toleransi dan Kenegaraan
Bersama Rektor Termuda Indonesia, Sutradara, dan Cendekiawan
SURABAYA, Jawa Pos – Persatuan bisa terjadi jika setiap kelompok mau membuka diri. Hal itu disepakati tiga pembicara yang hadir dalam talk show ”Wawasan Kebangsaan Satu Jiwa, Satu Langkah untuk Indonesia” kemarin (12/11). Sutradara Ernest Prakasa, Rektor Institut Teknologi Bisnis ASIA Malang Risa Santoso, dan cendekiawan Yudi Latief berdiskusi mengenai banyak isu toleransi dan kenegaraan dalam acara yang dihelat di aula lantai 5 SMP Gloria 1 di kawasan Kupang Indah.
Menurut Ernest, membuka diri bisa dilakukan lewat partisipasi dalam komunitas yang sesuai dengan minat. ’’Saya lihat di sini yang matanya minimalis seperti saya ini jadi mayoritas, ya. Nah, coba lewat komunitas kita kenal dengan yang beda latar belakang,’’ ucapnya, lantas tertawa. Menurut pria kelahiran 1982 itu, terjun di lingkungan baru juga mengajari rasa menjadi minoritas.
Namun, hati-hati dengan adanya minority complex. ’’Jangan cuma waspada dengan majority complex,’’ kata Yudi. Akhirnya, kata dia, masing-masing malah tetap menutup diri meski berdampingan dalam satu situasi. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) 2018 tersebut mendorong peserta talk show untuk berani keluar dari zona nyaman. ’’Just do it. Jangan terpaku pada rasa waswas dan takut hingga tak berani memulai,’’ ujarnya.
Risa turut mengingatkan pentingnya menghindari stereotip. Rektor termuda di Indonesia tersebut juga menceritakan pengalamannya saat menjadi tenaga ahli muda di kantor staf presiden. Saat itu, banyak kawannya yang telanjur memberikan stereotip tentang bekerja di pemerintah. ’’Kadang, bukan cuma orang yang kasih kita stereotip. Tapi, kita juga kasih orang lain stereotip,’’ terang perempuan 27 tahun tersebut. Jika stereotip ditanggalkan, harapannya, eksklusivitas antarkelompok bisa mulai luntur.
Selain bicara tentang identitas, ketiganya menyinggung hoaks-hoaks yang kini merajalela. Hoaks berpotensi memecah belah bangsa. Ernest juga menyindir penikmat konten kreator yang hanya mencari sensasi. ’’Daripada nonton video orang nyamar jadi gembel, mending dipakai untuk cek fakta,” jelas pria kelahiran Jakarta itu. Yudi menyampaikan, remaja saat ini harus menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan positif sehingga tak ikutan memproduksi hoaks. ’’Itu kan kerjaan orang-orang yang seharian hanya pegang beginian. Makanya, ada saja idenya bikin hoaks ini itu,’’ tutur Yudi sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi.
Risa mengingatkan, berita yang didapatkan memang kadang begitu menggiurkan untuk disebarkan ke sesama kawan. Namun, siapa pun harus meluangkan waktu untuk mengecek fakta di baliknya. ’’Dan kita harus mikir juga dampaknya apa sih menyebarkan berita seperti ini,’’ tegas alumnus Harvard University, Amerika Serikat, tersebut.
Acara talk show itu dihadiri 1.500 siswa dari 10 sekolah SMP-SMA Kristen seSurabaya. Kepala SMA Gloria 1 Kennedy Yuandy menuturkan, acara tersebut digelar untuk menyadarkan peran pelajar bagi negara pada masa depan. ’’Anakanak ini kan mempunyai potensi besar,’’ ucap Kennedy. Kepala SMA Gloria 2 Deborah Indriati menyampaikan pentingnya membangun kondisi yang kondusif untuk saling mencintai dalam keberagaman.