Lengger Lanang, Diskriminasi, dan Politik
SURABAYA, Jawa Pos – Juno duduk di halaman rumah Lek Rosidi. Di depannya, sudah berderet sekitar 10 pria dan perempuan yang menggendong ayam. Lek Rosidi berada di barisan paling depan. ”Iki pitikku arep ngendok ora?” katanya sambil menyodorkan ayam berbulu putih cokelat kepada Juno. Bocah 8 tahun itu lantas memasukkan jarinya ke anus ayam. ”Ora, Lek. Belum waktunya bertelur,” jawab Juno mantap.
Itulah secuplik adegan film Kucumbu Tubuh Indahku yang berhasil memancing tawa penonton yang memenuhi studio 6 CGV BG Junction Senin (11/11). Juno dikisahkan sebagai karakter yang polos. Dia berkembang menjadi penari yang luwes dan bergabung dalam komunitas tari Lengger Lanang. Film tersebut menceritakan diskriminasi yang dialami komunitas itu karena dianggap punya pengaruh negatif kepada masyarakat.
Dalam pemutaran film yang menjadi bagian dari acara Bulan Film SMK Dr Soetomo Surabaya itu, aktor sekaligus pemeran bupati dalam film tersebut Teuku Rifnu Wikana hadir. Dia mengajak para penonton untuk berdiskusi mengenai film yang sempat mendapat penolakan di beberapa daerah itu. ”Aku jadi nyadar, jadi minoritas itu enggak enak kalau orang di sekitarnya enggak toleran,” kata Ahmad Naufan, satu di antara 100 peserta nobar.
Rifnu mengapresiasi komentar-komentar dari para penonton. Menurut dia, peserta nobar terlihat peka dan memahami makna film yang berlatar belakang beberapa desa di Jawa Tengah itu. Pria yang dinobatkan sebagai pemeran utama pria terbaik versi Festival Film Indonesia 2017 tersebut mengatakan bahwa ada nilai penting selain yang telah disebutkan. Yakni, karut-marut keadaan politik di Indonesia.
”Minoritas jadi tersingkir gara-gara kepentingan politik dan politisi sering kali bertindak seenaknya,” kata pria asal Pematangsiantar, Sumatera Utara, itu. Rifnu menjelaskan bahwa sutradara film Garin Nugroho mengangkat tari Lengger Lanang yang terinspirasi kisah Rianto, koreografer Indonesia yang juga mantan penari Lengger Lanang di Banyumas 25 tahun silam. Tarian itu terkikis zaman akibat sentimen negatif lantaran penarinya laki-laki. Keadaan itu diperkuat oleh politisi yang mendukung gerakan tersebut.