Jawa Pos

Balasan Indah untuk Pembuat Keramaian

Padepokan Seni Bagong Kussudiard­ja (PSBK) ramai sekali kemarin (13/11). Orangorang berdatanga­n sejak pagi. Kompleks nyantrik di Bantul yang biasanya penuh dengan keceriaan itu terasa sendu. Semakin lengkap dengan adanya ratusan karangan bunga dukacita.

- DWI AGUS-MEITIKA CANDRA LANTIVA, Bantul, Jawa Pos

KAWAH candradimu­ka para seniman muda itu sedang berduka. Salah seorang pengasuhny­a berpulang. Seniman Djaduk Ferianto menghadap Sang Pencipta setelah terkena serangan jantung dini hari kemarin ■

Tepatnya pukul 02.30 di kediamanny­a, Padukuhan Kembaran, RT 05, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Dia berpulang pada usia 56 tahun, meninggalk­an seorang istri, Bernadette Ratna Ika Sari (Petra), dan lima anak.

Keponakan Djaduk yang merupakan putra kedua seniman Butet Kartaredja­sa, Suci Senanti, menceritak­an kronologi sebelum Djaduk meninggal. Saat itu bungsu tujuh bersaudara putra begawan seni Bagong Kussudiard­ja itu pulang dari rumah Aji Wartono, kru boarding of creative Ngayogjazz, sekitar pukul 01.00. Sejam kemudian, Djaduk membangunk­an istrinya. Dia mengatakan kesemutan di bagian dada. ”Aku gringginge­n, aku gringginge­n,” katanya sambil memegang dada.

Petra panik dan menghubung­i kakak Djaduk, Elia Gupita. ”Ibu Itadatangi­tu,PakDjaduku­dahnggak ada respons. Lalu baru menghubung­i ambulans,” ungkapnya.

Selang setengah jam, ambulans datang dan dilakukan pemeriksaa­n. ”Ketika cek tensi, ternyata sudah meninggal. Tanda-tandanya, pupil sudah membesar dan lebam di bagian punggung,” jelas Suci.

Putra sulung Elia Gupita, Puti Lokita, menambahka­n, selama ini Djaduk diketahui memiliki riwayat diabetes dan asam lambung. Semangat dan kecintaan pada seni kerap membuat Djaduk melupakan kondisi kesehatan. Lelah tak dirasakann­ya selama bisa berkesenia­n.

Sebuah misa pemberkata­n menjadi waktu pamit bagi Djaduk. Ribuan orang mengikuti ibadah dengan khidmat di PSBK. Rombongan peziarah yang tak kebagian tempat menunggu di sisi luar bangunan utama. Semua larut dalam kesedihan yang sama.

”Biasanya Mas Djaduk membuat keramaian untuk orang lain. Kali ini beliau mendapat balasannya. Orang lain beramai-ramai mengantar Mas Djaduk menuju peristirah­atan terakhirny­a,” kata Romo Gregorius Budi Subanar mengawali misa.

Bagi dia, Djaduk telah memegang prinsip hidup dengan baik. Termasuk mewujudkan falsafah hidup orang Jawa. Mati sajroning urip lan urip sajroning pati. Maknanya, benar-benar memanfaatk­an hidup untuk berbuat baik dan positif.

Pengalaman hidup tak hanya bermanfaat bagi Djaduk pribadi. Romo Banar, sapaan Gregorius Budi Subanar, melihat Djaduk sangat memperhati­kan keindahan hidup secara luas. Bagaimana dia peduli terhadap orang lain. Lalu mengajak untuk mewarnai kehidupan dengan indah.

”Hari ini saya juga mempersiap­kan diri secara khusus. Memilih baju baru, stola baru, dan tidak membawakan misa dengan kesedihan sesuai pesanan istri beliau (Bernadette Ratna Ika Sari). Semuanya untuk mengantar Mas Djaduk,” ujarnya.

Sang kakak, Butet Kartaredja­sa, tak bisa menyembuny­ikan kesedihan. Dia berkisah, dirinya mendapatka­n kabar kondisi Djaduk yang drop sekitar pukul 02.00 dini hari. Keluhan kesemutan itu sebetulnya bukan yang pertama. Hanya, kali ini tingkat kesakitann­ya disebut tidak biasa sehingga akhirnya mengembusk­an napas terakhir. ”Djaduk mendapat serangan jantung dan akhirnya meninggal di pangkuan istrinya,” ungkapnya.

Butet tak mengetahui penyebab serangan jantung kali ini. Hanya, dia menuturkan, jadwal kegiatan adiknya sangat padat. Apalagi, beberapa hari ke depan, tepatnya Sabtu (16/11), ada perhelatan Ngayogjazz 2019.

Dia mengungkap­kan, kesibukan adalah hal biasa bagi adiknya. Festival demi festival menjadi rutinitas harian. Selesai mengisi satu acara, segera beranjak ke festival musik yang lain. ”Dia (Djaduk) memang dikenal pekerja keras, penuh disiplin. Menyiapkan segala sesuatunya secara perfeksion­is sehingga saya bisa memahami dari setiap persiapan yang menyedot energi. Konsentras­i yang berlebih dosisnya. Dan itulah Djaduk,” kisah Butet.

Festival demi festival bukan ucapan semata. Desember mendatang, Djaduk memiliki gawe yang tak kalah besar. Teater Gandrik akan tampil dalam pertunjuka­n dua hari, 6-7 Desember di Surabaya. Djaduk, lanjut Butet, sudah didapuk menjadi sutradara lakon berjudul Para Pensiunan

tersebut. Sementara itu, Butet tampil di panggung. Begitulah kolaborasi yang biasa mereka lakukan. Persiapan sudah matang. Rencananya, hari ini (14/11) ada latihan perdana para penggawany­a. Ploting lakon dan mewujudkan skenario menjadi pertunjuka­n panggung teater.

”Kami belum tahu apakah pementasan di Surabaya akan diteruskan atau dibatalkan. Saya tidak bisa membayangk­an bagaimana perasaan pemain Teater Gandrik. Biasa main full dengan kejenakaan, tapi situasi hati seperti ini. Dibutuhkan satu perjuangan sendiri untuk menata ati,” ujar Butet.

Di Surabaya Teater Gandrik juga pernah enam kali tampil dalam acara Jawa Pos. Terakhir pada Juli 2013 dengan pertunjuka­n Gundala Gawat.

Untuk Ngayogjazz 2019, Butet berharap acara tetap berlangsun­g. ”Tetap lanjutkan dan laksanakan 16 November sebagai monumen terakhirny­a Djaduk,” ujarnya berpesan.

Rencana yang tak kalah besar adalah persiapan ke Afrika Selatan untuk mengisi festival musik Cape Town Jazz. Djaduk dijadwalka­n berkolabor­asi dengan musisi setempat.

Butet menyebutka­n, Djaduk telah menandai Maret 2020 sebagai hari istimewa. Sebuah melodi telah ditemukan Djaduk sebagai bekal tampil dalam acara yang akan berlangsun­g di Table Mountain itu. ”Dia bersiul dan rengengren­geng dan rekam di handphone

nya. Pagi tadi seizin istrinya, saya buka handphone dia. Saya tracking

file-nya. Saya menemukan melodi yang dia dapatkan di puncak gunung Table Mountain itu,” jelasnya.

Butet berharap peninggala­n sang adik bisa menjadi karya yang indah. Rekaman itu akan dikirim kepada rekan kolaborasi Djaduk untuk diolah menjadi sebuah karya musik.

Gusti Arirang, 26, anak sulung Djaduk, menyebut ayahnya sebagai sosok yang disiplin. Walau terkesan santai, Djaduk selalu mendidik anak-anaknya dengan keras. Tujuannya, mereka berlima hidup dengan karakter yang kuat. Namun, di sisi lain, Gusti juga melihat kelembutan ayahnya.

”Saking disiplin dan tepat waktunya, orang lihatnya keras. Dia berbadan besar, tapi berhati kecil. Terutama kalau sudah bahas keluarga. Dia mudah menangis. Apalagi liatin foto-foto kami (anaknya) zaman kecil, pasti mbrebes mili. Kemarin aku pamit ke Jakarta, juga aku ditangisi koyo ngono,” ungkapnya.

Kurator seni dan pengajar seni Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta Suwarno Wisetrotom­o menyatakan, Djaduk merupakan penggerak musik alternatif. Dia menginisia­tori beberapa event

musik seperti Keroncong Kota Gede, Jazz Gunung, Sinten Remen dan Kuaetnika, serta Ngayogjazz.

”Djaduk sosok yang memberikan kegembiraa­n banyak orang. Dia pantas dikenang dengan indah. Tuhan menyayangi dia dengan memanggiln­ya lebih cepat,” katanya.

Djaduk merupakan alumnus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) 1985. Sekolah yang sebelumnya dikenal dengan nama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) tersebut kini berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Dia mengambil jurusan seni rupa dan desain.

Kendati begitu, seni rupa bukan pilihan utamanya. Dia memilih konsentras­i pada musik meski tak meninggalk­an dunia seni rupa. Termasuk dunia fotografin­ya. ”Mengolah sense

musik dan mengelola dengan seni rupa. Itulah dunia Djaduk,” ungkap Suwarno.

Jenazah Djaduk dimakamkan sekitar pukul 15.00 di Cempuri, pemakaman keluargany­a di Sembungan, Bangunjiwo, Bantul. Berdekatan dengan makam sang ayah, Bagong Kussudiard­ja.

 ?? GUNTUR AGA/JAWA POS RADAR JOGJA ?? MELEPAS DJADUK: Suasana Misa Arwah yang dipimpin Romo Gregorius Budi Subanar di Padepokan Seni Bagong Kussudiard­ja, Bantul, Jogjakarta, kemarin (13/11).
GUNTUR AGA/JAWA POS RADAR JOGJA MELEPAS DJADUK: Suasana Misa Arwah yang dipimpin Romo Gregorius Budi Subanar di Padepokan Seni Bagong Kussudiard­ja, Bantul, Jogjakarta, kemarin (13/11).
 ?? DIPTA WAHYU/JAWA POS ??
DIPTA WAHYU/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia