Selamat Jalan ”Sang Kopasus”
SAYA bangun tidur dan melihat jam tangan yang selalu saya geletakkan di meja kecil samping tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 5 lebih, pagi hari. Saya berniat meditasi kecil yang hampir selalu saya lakukan setiap pagi. Tetapi, saya terlebih dulu mengecek handphone ■
Ada sebuah pesan WA yang mengejutkan saya dari sahabat Erwin Duta Rustaman, seorang penggiat seni grafis di Jogja, masuk pukul 04.45 wib. Tertulis di sana, ”Ada kabar Mas Djaduk meninggal dunia. Benarkah kabar itu?”
Sontak saya menelepon sepupu Djaduk, Mas Heru Andono Warih –saya tak berani menelepon Butet Kartaredjasa. Saya bertanya to the point, ”Apakah benar?” Cuma itu. Dan jawabannya pun tak kalah singkat, ”Benar!”
Saya segera membangunkan istri, ”Ada yang meninggal.”
Istri saya yang masih asyik berada di alam mimpi itu sambil setengah memejamkan mata menjawab seperti lenguhan lemah dan malas, ”Siapa?” Saya menjawab, ”Djaduk.” ”Innalillahiiiiii!”
Istri saya seperti mental dari kasur. Matanya membelalak. Kantuknya buyar. Saya langsung berangkat ke rumah duka. Sudah ada Pak Butet dan keluarga. Saya memeluk Pak Butet. Dalam isaknya dia berkata, ”Yang kena jantung aku, Djaduk sik mati.”
Saya tak kuasa membendung air mata. Karena terbata, saya tak bisa setegar Butet yang masih bisa berkata, ”Minta maaf semua kesalahan Djaduk ya.” Dan itu dia ucapkan hampir kepada semua yang datang melayat pagi itu.
Bersama teman-teman Kuaetnika kami menurunkan raga umat Allah yang rohnya baru saja berpulang itu. Dari kamar tidurnya di lantai 2 ke tempat penyucian yang sudah disiapkan secara ”prasmanan” oleh kerabat dan keluarga di sebagian pelataran rumahnya di Desa Kembaran.
***
Sudah sekian lama dari pementasan Gundala Gawat karya Teater Gandrik September 2013 saya telah absen dari Teater Gandrik. Otomatis, sudah enam tahun hingga catatan ini saya tulis, saya tak lagi terlibat dalam proses kreatif bersamanya. Kecuali beberapa tahun lalu (saya lupa tepat tanggal dan tahunnya) saat kami terlibat bersama dalam launching buku Bre Redana, Karmacinta, di Solo, seperti yang ditulis Happy Salma dalam akun Instagram-nya dalam in memoriam Djaduk pada pagi 13 November.
Ya, sudah lama saya tak mendapat instruksi kreatif dari ”Sang Kopasus” itu. Kopasus? Demikian kami di Teater Gandrik sering menjuluki Djaduk karena gaya instruksi penyutradaraannya yang tegas bak perwira Kopassus, bahkan cenderung galak.
Di Gandrik ungkapan cinta bisa sangat unik penyampaiannya: bisa dengan membuli, ironi, sinisme, atau saling ledek. Itulah keakraban. Dan salah satu pelopor acara musik tahunan Ngayogjazz tersebut bukan tak tahu. Tapi, sebagai bagian dari komunitas, dia menerima dengan tawa.
Dalam penciptaan kreativitas tak jarang tekanan memang dibutuhkan. Seorang bodybuilder tak akan bisa mencapai kesempurnaan otot tanpa tekanan latihan dengan melompati rekor sendiri. Begitulah.
Dalam sepenggal pagi itu, dalam persiapan melapangkan jalan almarhum pimpinan Orkes Sinten Remen dan Kuaetnika tersebut, Butet Kartaredjasa melontarkan kalimat kesedihannya. ”Wah, difabel iki (ini) aku. Difabel! Aku kehilangan salah satu kaki!”
Saya menjawab sok bijak, ”Nanti kita cari kaki pengganti.” Memangnya saya siapa dan bisa apa untuk menguatkan orang yang tengah kehilangan besar itu?
Hubungan kakak beradik mereka itu sangat unik. Gaya bicara mereka srogal-srogol penuh canda dan pisuhan. Tapi, pada titik tertentu keduanya bergantian posisi menjadi penasihat satu sama lain. Kompak, bikin iri!
***
Untuk mengantarkan sobat hebat ini sekarang saya akan berbicara umum, tak merujuk pada kepribadian almarhum. Manusia, ketika hidup penuh dengan ”kenaturalan kemanusiaannya”. Penuh keinginan, kehendak, cita-cita, baik itu yang bersifat eksistensial ekonomi atau eksistensial apa pun. Hingga kadang menorehkan lukanya sendiri terjebak dalam persahabatan atau kekerabatan sekaligus menyembunyikan berbagai hal ketidakpuasan: iri, dengki, cemburu, atau bahkan nilai positif lainnya.
Namun, dalam kodratnya saat maut menjemput, terasa sekali ia ”hanya raga”. Pada titik inilah terasa sekali bahwa keduniawian itu telah berakhir. Hanya cinta yang terasa ada. Sahabat yang pergi tak akan kembali kecuali kepada-Nya.
Kepada Bu Petra, hormatku pada ketegaranmu di saat-saat kritis menjemput suamimu. Kepada Gusti Arirang, Ratu Hening, Presiden Dewa Gana, Kandida Rani Nyaribunyi, dan Rajane Tetabuhan, ayah kalian telah meninggalkan jejak mendalam di dunia musik. Ayah kalian orang terhormat.
Lik RM Gregorius Djaduk Ferianto, aku meminta maaf atas semua kesalahan dan kekuranganku kepadamu di masa lalu. Semoga jalan terang dari Allah cepat membawamu ke jalan tol yang langsung menghubungkanmu dengan mitlak pilikmu: Allah Yang Maha Esa. Aku menyayangimu sepenuh hati, Lik. Hormat. (*)
Jogja, 13 November 2019