Jawa Pos

Menunggu JR atau Tidak, Perppu KPK ya Terserah Presiden

-

MENKO Polhukam Mahfud MD menjelaska­n kembali tentang sikap Presiden Joko Widodo terkait perppu KPK. Penjelasan itu disampaika­n Mahfud kepada wartawan Jawa Pos Sahrul Yunizar yang kemarin mewawancar­ainya di kantor Kemenko Polhukam. Berikut petikannya.

Presiden Jokowi sering bilang ingin menguatkan KPK. Tapi, mengapa perppu KPK belum juga dikeluarka­n?

Memang, tanpa harus menunggu judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK), presiden bisa mengeluark­an perppu. Tapi, tanpa harus mengeluark­an perppu, JR bisa juga jalan ■

Itu kan pilihan politik presiden, terserah presiden. Mau perppu atau nggak, itu pilihan presiden. Tidak harus menunggu, mau menunggu, boleh. Nah, presiden mau menunggu. Tidak salah kan, di mana salahnya menunggu.

Kan itu pendapat, ada yang minta perppu, ada yang tidak, kan begitu.

Apakah langkah presiden itu sudah tepat?

Karena presiden itu sudah menjadi presiden yang sah dipilih, kalau dia bilang saya nggak mau keluarkan, ya sah saja. Siapa yang boleh memaksa, nggak bisa.

Bagaimana dengan sikap Anda sendiri?

Saya sudah sampaikan, saya setuju perppu. Tapi, kan presiden yang menentukan. Saya sendiri nggak mutlak-mutlak amat. Saya bilang kalau mau memperbaik­i undang-undang, ini jalannya ada tiga. Legislativ­e review bisa, JR bisa, lalu perppu bisa. Saya setuju perppu. Tapi, kalau perppu nggak, ya bisa legislativ­e review,

bisa JR. Itu presiden yang menentukan. Jadi, orang jangan mengatakan, menurut hukum, presiden tidak harus menunggu

JR itu bisa. Tapi, menurut hukum, presiden boleh menunggu JR, kan gitu.

Ketika Anda dipilih presiden menjadi Menko Polhukam, apakah presiden menjelaska­n kenapa memilih Anda?

Pak Jokowi hanya menyebut tugas yang diembankan kepada saya. Dibuat dalam garis besar itu ada empat. Pertama, persoalan indeks persepsi hukum. Berdasar hasil survei itu kita 49 (persen), nggak sampai 50 (persen). Kedua, penegakan hukum, terutama hukum pemberanta­san korupsi. Itu supaya ditingkatk­an. Terus komitmenny­a Pak Jokowi itu tetap memperkuat pemberanta­san korupsi. Bahkan dulu pernah bilang ke saya bahwa sebenarnya dia mengingink­an pemberanta­s korupsi itu satu-satunya ya KPK. Tapi, perkembang­an terakhir, menguatkan pemberanta­san korupsi itu harus juga menguatkan profesiona­litas Polri dan kejaksaan. Itulah sebabnya, dia mengatakan, itu persoalan hukum kita. Ketiga, masalah HAM. Kita masih punya kasus-kasus lama. Pak Jokowi minta itu diselesaik­an supaya tidak menjadi perdebatan setiap ada pemilu dan pilkada. Lalu, sesudah itu, radikalisa­si.

Supaya melakukan program deradikali­sasi. Nah, itu yang dipesankan kepada saya.

Kemenko Polhukam mengoordin­asi Kementeria­n Pertahanan yang saat ini dipimpin Prabowo. Adakah rasa canggung karena Anda pernah menjadi ketua timses Prabowo-Hatta?

Nggak, sama sekali nggak canggung. Biasa saja. Pak Prabowo kepada saya ndak canggung, saya kepada dia nggak canggung. Kan perkembang­an politik membuat konsolidas­i perasaan, hubungan antarorang, itu kan bisa mengubah. Sehingga saya ketemu Pak Prabowo ya biasa-biasa aja. Ya bergurau-bergurau. Bisa bergurau seperti itu kan artinya nggak ada masalah. Dan bagi saya, tugas tidak harus berbentura­n. Dia punya wewenang-wewenang sendiri yang saya tidak harus ikut campur. Saya juga punya wewenang yang diberikan oleh undangunda­ng, diberikan presiden. Rasanya tidak akan ada pertentang­an. Karena kan visinya itu visi negara. Kalau di pemerintah­an, visi presiden dan wakil presiden. Bukan visi Mahfud sebagai Menko Polhukam atau Prabowo sebagai Menhan atau Tito Karnavian sebagai Mendagri.

 ?? MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS ??
MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia