Jawa Pos

Menambah Legowo di Belakang Nama sebagai Tanda Keikhlasan

Jurnalis senior Jawa Pos, Arief Santosa, berpulang setelah sakit sejak 1 Agustus 2018. Mendiang meninggalk­an kesan mendalam tak hanya bagi rekan sejawatnya, tapi juga dunia sastra dan budaya.

-

Mengenang Arief Santosa Legowo, Jurnalis Senior Jawa Pos yang Berpulang

DOAN WIDHIANDON­O, Jawa Pos

DERING telepon pada tengah hari, 15 Juni, itu membikin saya kaget. Mas Arief Santoso menelepon! Sudah cukup lama saya tidak berbincang dengan Mas Ari (kodenya saat menulis di koran yang akhirnya menjadi nama panggilann­ya di kantor). Mas Ari memang sakit sejak 1 Agustus 2018. Pendarahan di otaknya sempat membuatnya koma. Sejak, lelaki kelahiran 14 Juli 1965 tersebut belum benar-benar pulih seperti sedia kala. Belum bergas seperti ketika aktif main pingpong atau biliar di ruang redaksi Jawa Pos. Dua kali berkunjung ke kantor pascasakit, Mas Ari terlihat lemah di kursi rodanya.

Tapi, siang itu suara Mas Ari terasa begitu bersemanga­t. Dia menelepon saya selama 26 menit. Kami berbincang tentang apa saja. Tentang kerinduann­ya kembali mengedit. Tentang kekagumann­ya pada wartawan-wartawan muda yang kini menggawang­i Jawa Pos.Tentang putra mbarep-nya, Febian Deri Eka Putra, yang juga mulai bergelut di dunia jurnalisti­k

J

Tentang gurauan-gurauan yang membuatnya terpingkal-pingkal. Tentang,.. ah banyak sekali.

Dalam perbincang­an panjang itu, Mas Ari bercerita tentang namanya yang berubah. ”Nama saya sekarang Arief Santosa Legowo, Mas,” terang bapak dua anak itu. Ihwal nama itu cukup unik. Kata Mas Ari, saat tersadar dari koma, seorang dokter menanyainy­a, ”Bapak namanya siapa?” ”Saya jawab tegas, Mas. ’Aku Legowo!,’” cerita Mas Ari. Setelah itu, Mas Ari ingin melekatkan kata Legowo pada namanya. ”Saya juga sudah izin ibu saya,” ujarnya.

Bagi Mas Ari, kata legawa bukan tanpa makna. Kata itu melambangk­an kepasrahan pada Yang Mahakuasa. Legawa mengandung arti keikhlasan­nya terhadap apa yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta. ”Saya diparingi sakit ini, saya legawa. Bahkan, saya sudah sering bilang, kalau saya dipundhut Yang Kuasa pun, saya legawa.”

***

Pukul 12.55 kemarin, Mas Ari menghadap penciptany­a. Kepergiann­ya adalah sebuah kehilangan. Tidak hanya bagi keluarga besar Jawa Pos. Tetapi juga bagi orang-orang yang dibesarkan­nya melalui rubrik budaya Jawa Pos selama belasan tahun.

”Dunia sastra kita kehilangan beliau. Saya apalagi, yang ’besar’ oleh ruang yang diberikann­ya di Jawa Pos,” tulis Benny Arnas, penulis buku, novel, cerpen lintas genre dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.

Sastra dan budaya memang tak bisa dipisahkan dari Mas Ari. Kukuh Yudha Karnanta, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universita­s Airlangga, ingat betul moto hidup Mas Ari. Yakni, hidup hanya menunda kekalahan. Kalimat itu ada dalam sajak Derai-Derai

Cemara karya Chairil Anwar.

Mas Ari memang bukan novelis ataupenyai­r.Namun,melaluiaja­rannya kepadakami,diaselalum­enginginka­n sentuhan sastra pada karya-karya jurnalisti­k. ”Berita itu bukan hanya 5W+1H. Tambah satu lagi: unsur sastrawi,” katanya suatu ketika.

Kecintaan Mas Ari pada seni terbentuk sejak remaja. Dia aktif ikut lomba baca puisi, deklamasi, hingga menyanyi. Suaranya khas. Punya vibra. Aktivitas itu terus dipupuk saat dia kuliah di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universita­s Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. Mas Ari tak sampai lulus. Aktivitas kemahasisw­aan begitu menyita waktunya. ”Gelar saya: Drs Med. Dereng Rampung Sampun Medal (belum kelar sudah keluar, Red),” gurau penyuka buku Doctor Zhivago karya Boris Pasternak tersebut.

Di Jawa Pos, Mas Ari adalah pengejawan­tahan seni itu sendiri.

Selainmeng­gawangirub­rikbudaya, diajugasel­aluterliba­tdalamkegi­atan kesenian.Baikdidala­mataudilua­r

Jawa Pos. Mas Ari adalah ”panitia seumur hidup” ketika Jawa Pos menampilka­n seniman-seniman. Misalnya,ButetKarta­redjasa,Djaduk Ferianto (yang juga berpulang kemarin), dan masih banyak lagi.

Sebagai jurnalis yang sudah berkarya di Jawa Pos sejak 1990-an, Mas Ari adalah guru dari sebagian besar penghuni ruang redaksi. Dia memberi teladan tentang keteguhan berkarya. Dia juga memberi contoh tentang keceriaan dan keramahtam­ahan.

Saat masih menjadi redaktur

Metropolis, Mas Ari duduk di sebelah kiri saya. Mejanya khas. Penuh tumpukan amplop cokelat. Kiriman cerpen atau puisi dari penulis seIndonesi­a Pemandanga­n itu tak pernah lagi ada. Selamat jalan, Mas Ari. Terima kasih atas ajaran legawanya...

 ?? ALEX QOMARULLA/JAWA POS ?? SELAMAT JALAN: Mendiang Arief Santosa bersama sang istri, Dewi Ratna Nengati, menghadiri HUT Ke-70 Jawa Pos pada 1 Juli 2019.
ALEX QOMARULLA/JAWA POS SELAMAT JALAN: Mendiang Arief Santosa bersama sang istri, Dewi Ratna Nengati, menghadiri HUT Ke-70 Jawa Pos pada 1 Juli 2019.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia