Kontrol Bicara, Fokus Kerja
SOSOK Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok santer dikabarkan akan dipercaya pemerintah untuk memimpin sebuah perusahaan BUMN
Mengapa Ahok dipilih? Menurut saya, ada beberapa hal yang melatarbelakangi.
Pertama, Ahok memiliki kepemimpinan yang baik. Kepemimpinan itu sudah dia buktikan. Ahok bukan orang yang asing di dunia usaha. Sebelum masuk ke pemerintahan, dia pernah mendirikan perusahaan.
Ahok lalu masuk ke pemerintahan dengan menjadi bupati Belitung Timur. Memulai sebuah terobosan yang kelak menjadi tradisi di daerah-daerah lain. Salah satunya, pendidikan gratis. Terobosan itu kemudian diikuti daerah-daerah lain.
Berprestasi sebagai bupati membuat Ahok digandeng menjadi wakil gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Pak Jokowi. Keduanya membuat terobosanterobosan di ibu kota.
Salah satu kelebihan Ahok pada saat itu adalah transparansi anggaran. Dia sangat keras soal transparansi. Namun, saat itu dia juga punya kelemahan. Emosinya meledak-ledak dan mulutnya yang sering out of control. Itu pula yang membuat dia menjadi sosok kontroversial saat menjadi kepala daerah, bahkan mengantarnya masuk penjara.
Kita harus ingat bahwa Ahok tidak dipenjara karena korupsi. Namun, karena mulutnya out of
control. Kalau dipenjara karena korupsi, tidak mungkin dia dimasukkan ke BUMN. Dan, soal profesionalitas, kinerja, dan transparansi, sampai saat ini tidak ada yang meragukan Ahok.
Karena itu, dalam pandangan saya, Ahok memang pas bila ditempatkan di BUMN. Bila ditempatkan di jabatan publik, risikonya terlalu besar karena bisa jadi akan menjadi kontroversi lagi. Tapi, kalau dia di swasta, sangat disayangkan kemampuannya tidak termanfaatkan oleh negara.
Dipilihnya Ahok di BUMN, apalagi di bidang energi, saya kira juga berkaitan dengan rekam jejaknya soal transparansi. Kita tentu tahu, sampai saat ini belum ada yang mampu menaklukkan perusahaan BUMN energi, baik Pertamina maupun PLN. Bahkan, Elia Massa Manik, mantan direktur utama Holding PTPN, juga tidak mampu.
Kita tentu ingat, saat itu Elia disebut-sebut sebagai ”Jonan” baru. Dia diharapkan bisa sukses memimpin Pertamina sebagaimana kesuksesan Jonan di PT KAI. Kenyataannya, dia tumbang juga. Karena itu, saya memandang bahwa penunjukan Ahok adalah salah satu bentuk keputusasaan presiden dalam mencari sosok yang tepat.
Apa pun posisinya, pesan saya hanya dua. Pertama, bila sudah resmi menjabat di BUMN, apakah komisaris, direktur, atau apa pun, jangan bicara kepada publik. Bila memang ada yang harus disampaikan, serahkan kepada corporate communication. Lebih baik Ahok berbicara lewat kinerja selama berada di BUMN.
Keuntungan lainnya, meski BUMN bersinggungan dengan publik, pertautannya lebih terbatas. Dengan begitu, Ahok juga mungkin akan lebih minim kesempatan bicara di ruang publik.
Memasukkan seorang Ahok ke dalam BUMN juga bukan langkah yang tanpa risiko. Tapi, mungkin Pak Jokowi melihat peluangnya lebih besar ketimbang risikonya. Risiko memasukkan Ahok adalah mulutnya. Tapi, presiden memerlukan seseorang yang secara personal betul-betul bisa dia percaya. Tidak hanya mengenal baik karena pernah bekerja bersama.
Memasukkan Ahok ke BUMN juga bisa memiliki dampak politis. Tapi, sekali lagi, dampaknya sangat bergantung pada kinerjanya. Kita semua tahu PLN dan Pertamina itu perusahaan besar sehingga ada banyak yang berkepentingan. Kalau dia berbicara, lalu timbul kontroversi, pihak-pihak tersebut akan terus bersuara. Sangat mungkin Ahok akan dimusuhi.
Intinya, Ahok harus lebih fokus bekerja ketimbang berbicara saat masuk ke internal BUMN. Pesan saya berikutnya, apa pun jabatan yang diemban Ahok nanti di BUMN, jangan sampai dia menjadi Elia Massa Manik kedua.