Ekspor Ditahan, Penerimaan Bea Naik
APNI Soroti Harga Jual Bijih Nikel
LABUAN BAJO, Jawa Pos – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mencatat lonjakan penerimaan bea keluar/ekspor bijih (ore) nikel. Itu terjadi kali pertama pada September. Tepatnya setelah pemerintah mengumumkan rencana moratorium ekspor bijih nikel. Oktober lalu lonjakan masih terjadi.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, penerimaan bea keluar nikel hingga 31 Oktober menjadi Rp 1,1 triliun. ”Selama 2018 penerimaan nikel mencapai Rp 659 miliar,” katanya Rabu malam (13/11). September penerimaan nikel mengalami pertumbuhan sebesar 191,41 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Yakni, sekitar Rp 170 miliar.
Sementara itu, penerimaan bea keluar nikel pada Oktober melonjak sebesar 298 persen bila dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Capaian penerimaan nikel pada Oktober berkisar Rp 300 miliar. Heru mengatakan, penerimaan tersebut merupakan konsekuensi dari keputusan pemerintah untuk melarang maupun tidak melarang ekspor bijih nikel guna mencukupi pasokan industri dalam negeri.
Pemerintah sebelumnya melarang perusahaan tambang nikel mengekspor hasil produksinya per 1 Januari 2020. ”Tujuannya adalah memberikan nilai tambah pada industri dalam negeri agar bisa menikmati kue bisnis nikel dari awal (hulu) sampai akhir (hilir),” ungkap Heru. DJBC pun melakukan verifikasi mendalam terhadap ekspor nikel sejumlah perusahaan.
Di sisi lain, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengharapkan payung hukum yang jelas pasca terbitnya aturan baru Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) soal harga jual bijih nikel ke smelter. BKPM menetapkan harga jual USD 30 per metrik ton.
Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, yang telah disampaikan oleh BKPM bukanlah sebuah kesepakatan. ”Itu bukan kesepakatan, tapi
statement lagi. Boleh nggak kami mengacu pada sesuatu yang tidak ada aturannya?” kritik dia.