Agar Anak Muda Tertarik Main Ludruk
Bikin Festival di Balai Pemuda, Pemain Maksimal 24 Tahun
SURABAYA, Jawa Pos – Latihan tari remo Rizki dan Giska setiap hari mengganggu Petty dan Cantika. Suara musik tradisional yang keras membuat mereka risi. Apalagi, Petty dan Cantika merasa bahwa tarian tradisional sudah kuno, berbeda dengan mereka yang berlatih tarian modern. ”Nggak cantik,
nggak mbois tari macem begitu!” ujar Petty. Mereka mengklaim tarian modern lebih bagus ketimbang remo.
Begitu adegan pembuka ludruk berjudul Kebudayaan dan
Toleransi yang dilakonkan oleh Gabungan Pecinta Seni (GPS) di Balai Pemuda kemarin (14/11). Cerita yang diangkat adalah perseteruan dua kubu. Tidak terima diprotes, Rizki dan Giska melapor kepada ketua RT, Pak Tejo. Empat perempuan saling berteriak. Pak Tejo dan asistennya, Mardini, bingung.
Setelah mendengar duduk perkaranya, Pak Tejo menasihati kedua pihak tersebut. Menurut dia, malah dua tarian tersebut bisa digabungkan dan akan membangun kesenian tari yang lebih baik lagi. ”Walaupun kita berbeda, tapi kita kan tetap satu. Kalau bersama malah akan lebih bagus untuk kalian sendiri,” tuturnya. Didik Jogo Yodho yang menjadi sutradara mengatakan, persaingan dalam dunia seni di Surabaya sangat ketat. Padahal, jika mau bekerja bersama, seni di Surabaya bisa menjadi lebih maju. Hal itulah yang menginspirasi dia untuk membuat cerita tersebut. ”Yang fatal malah kalau ada yang salah bukannya diberi tahu,” ujarnya. Kalau sudah begitu, anak-anak muda yang ingin memahami dan terlibat dalam ludruk jadi enggan.
GPS punya banyak anggota yang masih belia. Setidaknya 20 anggotanya anak muda. ”Yang paling muda, bahkan ada yang berusia 10 tahun,” imbuh dia. Didik mengatakan, anak muda kini mulai tertarik untuk belajar seni melalui ludruk. ”Mereka merasa menjadi diri sendiri, bisa bebas berekspresi,” tuturnya. Komunitas yang memiliki markas di Jalan Pogot, Surabaya, itu pun kerap tampil di Balai Pemuda atau gedung Dinas Kominfo Surabaya. Kebudayaan dan Toleransi merupakan satu di antara 17 penampilan di Festival Ludruk 2019 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya. Kepala Disbudpar Aniek Sugiharti mengatakan, festival tersebut diadakan untuk meningkatkan apresiasi terhadap ludruk di kalangan muda. Karena itu, penampilnya dibatasi maksimal berusia 24 tahun. ”Karena seni ludruk adalah tradisi yang perlu diteruskan dan dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman,” imbuhnya.