Selamat Jalan, Redaktur yang Mulia
(Eulogi untuk Arief Santosa)
”Ia terlalu baik bagi dunia ini...” (Pidato di Kubur Orang, Subagio Sastrowardoyo)
MASIH lekat dalam ingatan, pada 2005 di selasar kantin lantai dasar Graha Pena, cerpenis asal Sumenep yang bertualang ke Jogjakarta, Ahmad Muchlish Amrin, mengajak saya bertemu dengan satu nama yang begitu akrab terdengar di kalangan penulispenulis sastra di Indonesia: Arief Santosa.
Dialah ”juru kunci” rubrik budaya Jawa Pos, yang menentukan cerpen, puisi, resensi, dan artikel manakah yang jadi atau tidak akan terbit. Sebagai seseorang yang baru belajar menulis, ada rasa penasaran, keder, sungkan, dan juga setengah ”jengkel” karena berkali-kali mengirim tulisan kepadanya via surel, seluruhnya bertepuk sebelah tangan.
Malam itu, di tengah-tengah kesibukannya sebagai redaktur, Mas Arief menyambut kami dengan akrab dan hangat. Sosoknya ramah, matanya yang sedikit sipit senantiasa memancarkan pandangan yang teduh. Aroma rokok keretek dan kopi hitam senantiasa lekat darinya.
Dengan polos saya bertanya, ”Kenapa di rubrik budaya Jawa Pos, tulisan yang dimuat lebih banyak dari penulis Jogja, Mas?”
Mas Arief tertawa lepas. Pun teman saya, si Amrin yang dari senyumnya seakan sudah merasa sah disebut ”berdarah Jogja”. Alih-alih langsung menjawab pertanyaan tersebut, dia bercerita bahwa dirinya dulu berkuliah di Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada. Menjadi mahasiswa dari nama-nama besar sastrawan Indonesia seperti Umar Kayam, Kuntowijoyo, hingga ”begawan” kritik sastra Indonesia Faruk. Dekat dengan sederet seniman dan budayawan yang namanya ada di buku-buku perkuliahan. ”Butet Kartaredjasa itu teman saya. Sempat kerja di Jawa Pos saat kantornya di Kembang Jepun,” ujarnya.
Saat itu saya menyadari betapa luas pergaulannya dan betapa identitas serta ikatan emosional Ngayogyakarta begitu kuat terpatri dalam diri putra Karangkajen, Jogjakarta, itu. Identitas dan ikatan emosional itu pula yang lantas merembesi laku dan cara pandang hidupnya. Dengan santai tapi tetap respek Mas Arief menjawab bahwa banyak juga penulis dari Surabaya yang karyanya dia muat. Budi Darma, Zoya Herawati, dan Lan Fang, misalnya. Juga, dia menyebut nama dua senior saya di kampus, yakni Imam Muhtarom dan W. Haryanto, yang pernah tayang di Jawa Pos.
Dari ceritanya, saya mendapat pemahaman bahwa keputusan pemuatan karya tidak melulu karena kuatnya estetika karya tersebut. Koran punya segmentasi pembaca, ujarnya, serta redaktur juga punya selera dan agenda.
Namun, yang membuat saya sungguh terkejut adalah saat dia bercerita bahwa tak jarang beberapa penulis menghubunginya dan mengeluh sedang dalam kondisi keuangan yang terdesak. Tak ada barang atau hal lain yang bisa dijual penulis tersebut, kecuali naskah cerpen atau puisi. Berutang? Harga diri penulis sastra terlalu tinggi untuk itu. Maka, Mas Arief menyanggupi untuk memuat naskahnya. Tapi, si penulis mendesaknya kembali, menanyakan kapan naskah itu dimuat, karena antrean pemuatan bisa berminggu-minggu dan honor baru akan cair berminggu-minggu pula setelah pemuatan.
Kepada penulis itu, Mas Arief lalu membayar lunas honor tersebut, bahkan sebelum karyanya dimuat! Di kemudian hari, saya mendapat lebih banyak cerita dari begitu banyak penulis yang kini kondang, dulu ”terselamatkan” biaya studi dan ongkos perantauannya karena uluran dan kebaikan Mas Arief.
Tidak pernah terbayang sebelumnya, Mas Arief, menjadi redaktur halaman sastra, bisa menjadikan seseorang begitu mulia...
Pada 2018, saya mendapat amanah sebagai anggota tim pengusul penerima anugerah seniman dan budayawan dari gubernur Jawa Timur. Setelah melakukan serangkaian presentasi, tibalah pembahasan usulan untuk kategori Tokoh Berdedikasi. Spontan saya menyebut nama Arief Santosa. Anehnya, apabila di kategori lainnya selalu ada perdebatan sengit terkait kelayakan nama calon yang diusulkan, untuk nama Mas Arief, seluruh hadirin yang berada di ruangan rapat itu langsung sepakat. Tidak ada perdebatan, juga sikap keberatan.
Hanya, beberapa kolega terkejut karena baru tahu tentang serangan stroke yang didapat Mas Arief, yang lantas membuatnya meregang nyawa selama beberapa minggu. Selebihnya adalah doa dan cerita betapa baik dan berjasanya sosok Mas Arief bagi para hadirin yang berasal dari kalangan akademisi, budayawan, dan pemerintah daerah itu.
Sayang, saat malam puncak penganugerahan, saya tak sempat hadir karena sedang ada tugas lain. Andai bisa menatap matanya yang selalu teduh dan menjabat erat tangannya, ingin sekali saya berkata, ”Teramat banyak aku berutang budi padamu, Mas. Hanya ini yang bisa sedikit kulakukan sebagai balasan atas budi baikmu, Mas, untuk mengajarkan dan memberi kesempatan bagiku dan banyak penulis lain saat baru menapak lekuk terjal jalan kepenulisan.”
Selamat jalan, Mas Arief. Bumi erat memelukmu. (*)
Kukuh Yudha Karnanta, pengajar di Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Airlangga, Surabaya