Jawa Pos

Pendidikan yang Memanusiak­an

-

Istilah McNamara Fallacy memberikan banyak pelajaran. Termasuk kepada penyusunan sistem pendidikan pada era pemerintah­an dengan kabinet baru.

ROBERT McNamara, menteri pertahanan AS pada masa Perang Vietnam, dikenal sebagai pejabat yang memiliki obsesi untuk membuat keputusank­eputusan (hanya) berdasarka­n pertimbang­an-pertimbang­an yang bersifat kuantitati­f. Keputusan itu cenderung lebih mementingk­an informasi-informasi yang masuk berbasis pengukuran kuantitati­f (metric). Hal tersebut membawanya kepada berbagai keputusan absurd yang diambil pemerintah AS selama bertahun-tahun hingga akhirnya mereka mundur (dan kalah) dalam Perang Vietnam.

Sikap mengutamak­an faktor kuantitati­f sembari mengesampi­ngkan banyak faktor lain, seperti sikap Robert McNamara tersebut, kemudian hari lebih dikenal dengan istilah McNamara Fallacy.

Lewat buku terbarunya, Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia; Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita, Haidar Bagir mengkhawat­irkan potensi munculnya McNamara Fallacy dalam bidang pendidikan kita. Betapa tidak. Saat ini ada kecenderun­gan para pemangku kepentinga­n pendidikan kita untuk mengukur kualitas pendidikan hanya dengan merujuk hasil riset lembaga-lembaga penilai dan pemeringka­t kualitas pendidikan semacam TIMSS dan PISA. Seperti kita ketahui, kedua lembaga tersebut secara periodik mengukur kemampuan siswa pada tiga bidang: matematika, sains, dan membaca.

Mengukur kualitas pendidikan lewat riset memang diperlukan, terlebih jika dilakukan dengan metode yang

Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia; Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita Haidar Bagir Mizan, Bandung Ke-2, Oktober 2019 209 halaman tepat. Namun, mengukur kualitas pendidikan hanya pada tiga mata pelajaran sambil mengabaika­n yang lain adalah suatu bentuk McNamara Fallacy dalam pendidikan.

Dalam konteks kekinian, ditunjukny­a Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan memunculka­n antusiasme di samping juga pesimisme.

Satu sisi, narasi pendidikan kita dipenuhi jargon-jargon semangat menjemput masa depan. Namun, pada sisi lainnya, praksis pendidikan kita terseok-seok oleh keribetan birokrasi dan mental sebagian besar pendidik yang cenderung masih bermental konservati­f, yakni sulit menerima halhal baru dan lebih nyaman dengan paradigma lama pendidikan.

Namun, pada sisi yang lain, pesimisme atas penunjukan Nadiem Makarim pun muncul. Selain tidak memiliki rekam jejak di bidang pendidikan, dia –yang berlatar belakang perintis perusahaan aplikasi yang mengandalk­an basis data dalam operasiona­l perusahaan­nya– menguatkan dugaan mindset yang serba-data-minded tersebut akan terbawa dalam setiap perumusan dan eksekusi kebijakan pendidikan yang ia ambil hingga pada batas-batas tertentu memantik kekhawatir­an munculnya McNamara Fallacy di bidang pendidikan.

Meski demikian, secercah harapan kemudian tersibak. Dua hal yang banyak dikutip berbagai media pada awal-awal pelantikan­nya seolah sedikit menguak visi-misi dan gagasan besar Nadiem Makarim, yaitu pendidikan berbasis kompetensi dan karakter.

Pemikiran Nadiem tersebut sejalan dengan apa yang diwedarkan Haidar Bagir dalam buku ini, yaitu bahwa pendidikan dengan orientasi apa pun, termasuk kompetensi, tidak boleh mengabaika­n pendidikan karakter. Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Dasar kita yang telah diamandeme­n maupun UU Sisdiknas 2003 sesungguhn­ya telah dengan jernih menetapkan bahwa proses pendidikan haruslah ditujukan untuk pengembang­an keseluruha­n potensi manusia demi mencapai kehidupan sejahtera, baik secara fisik, mental, maupun spiritual, dan bukannya hanya melahirkan warga negarawarg­a negara yang baik (good citizen) apalagi sekadar membangun angkatan kerja yang kompetitif.

Dan bukankah keberhasil­an pembanguna­n ekonomi suatu negara dan kesuksesan karir individual lebih banyak ditentukan oleh kapasitas reflektif (sekaligus kreatif ) dan kekuatan karakter moral. (*)

Guru SMKN 1 Sewon, Bantul

 ??  ?? JUDUL BUKU:
JUDUL BUKU:
 ??  ?? JUMADI
JUMADI

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia