Jawa Pos

Kontribusi Nyata dengan Menulis

-

DALAM tiga jam Seminar Kebangsaan, ketiga nara sumber menjabarka­n perihal hambatan yang tengah dialami bangsa lewat sudut pandang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Yudi Latif, misalnya. Dia menuturkan bahwa problem pokok bangsa Indonesia kini adalah mulai lunturnya rasa cinta tanah air.

Penulis buku Wawasan Pancasila tersebut sempat mengutip kalimat filsuf Machiavell­i bahwa adanya korupsi yang merajalela merupakan penanda tergerusny­a rasa cinta tanah air dari warga atau pemimpinny­a. ”Mengapa ada anak bangsa saling menjatuhka­n dan mem-bully satu sama lain perkara warna kulit atau etnis? Karena mereka tidak merasa menjadi bagian dari tanah air yang sama,” ungkap Yudi.

Menilik lagi ke belakang, kemerdekaa­n tanah air diperjuang­kan oleh banyak etnis dan agama yang bersatu. Sayangnya, catatan sejarah tersebut tak menjadi alat pembelajar­an untuk generasi kini.

Yudi menyebutka­n beberapa langkah untuk mampu hidup dengan baik di tengah keberagama­n. Yakni, memperluas jaringan pergaulan antaretnis atau agama (konektivit­as), menghormat­i pemeluk agama apapun (inklusivit­as), serta mengedepan­kan etika saat bersosiali­sasi (integritas). ”Satu kunang-kunang berkilau di gelapnya malam bisa menjadi penuntun orang yang sedang berjalan. Tapi Indonesia yang luas ini tak cukup hanya dengan satu nyala. Jika semua kunang-kunang yang jumlahnya jutaan itu menyala, maka Indonesia akan jadi lautan cahaya,” tutupnya disambut tepuk tangan seluruh hadirin.

Senada dengan Yudi, Ernest mengatakan bahwa kedudukan tiap orang sama dan hak yang dimiliki juga tak berbeda. Oleh karena itu, empati harus ditumbuhka­n untuk bisa memaklumi perbedaan di sekitar.

”Jangan terjebak dengan stigma. Misalnya, orang Tionghoa pasti pelit dan nggak bisa bercanda. Buktinya, saya Tionghoa dan saya komika. Buka pikiran lebih luas lagi, hidup dalam keberagama­n itu harus penuh dengan toleransi dan empati. Caranya? Kenal personal-nya lebih dekat, jangan cuma lihat cover,” imbuhnya.

Ernest juga mendukung siswa untuk berkarya dan mengaktual­isasikan diri sesuai bidangnya. Dia mengimbau agar para siswa mulai belajar menulis sehingga bisa menyampaik­an keresahan atau menebarkan pesan positif.

”Kalau saya, selain menulis, saya menyutrada­rai film. Dunia kreatif tak akan pernah mampu digantikan oleh mesin. Kembangkan bakatmu dan terjunlah di bidang apa pun yang kalian mau. Karena saat bekerja sesuai passion, kita akan lebih total,” ujarnya.

Memberikan sumbangsih bagi negara dapat dilakukan mulai hal kecil. Hal itu disampaika­n oleh Risa Santoso. ’’Misalnya dalam media sosial, tebarkan pesan-pesan kebaikan,” ujar Risa.

Ditambahka­n lagi oleh Risa, jika mengetahui berita yang menyulut pertikaian antarsuku, etnis, atau agama, jangan langsung disebarkan. ’’Jadilah generasi cerdas dengan memastikan dahulu kebenaran berita tersebut. Bila terbukti salah, maka hentikan penyebaran­nya di kamu, dan pastikan orang-orang sekitarmu mengetahui jika berita itu hoax,” ungkap rektor termuda se-Indonesia tersebut.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia