Satukan 159 Desa dalam Bisnis ala Korporasi
Sebanyak 159 kepala desa di Pati, Jawa Tengah, membentuk satu badan usaha milik desa (BUMDes) bersama. Bermodal Rp 5 miliar, telah berdiri lima Klinik Pratama BUMDes Sehat dalam kurun waktu lima bulan. Mereka juga punya usaha pertanian, infrastruktur, dan industri kreatif.
KLINIK kesehatan setinggi dua lantai itu tampak sepi. Tidak banyak aktivitas yang terlihat siang itu. Di dalamnya ada 1 dokter, 2 perawat, 1 bidan, dan 1 staf administrasi
Semuanya tengah berkutat dengan kesibukan masing-masing. ”Kalau siang memang seperti ini. Biasanya pasien berdatangan pada sore hingga malam,” kata dr Ayu Yuanita, penanggung jawab Klinik Pratama BUMDes Sehat yang berada di Kecamatan Pati.
Secara umum, layanan klinik yang buka pukul 07.00–21.00 itu tidak berbeda dengan klinik pada umumnya. Selain dokter umum, ada dokter gigi. Selain itu, ada layanan tambahan seperti akupunktur, baby spa, dan perawatan kulit. Layanan itu disiapkan untuk menambah daya tarik pasien agar datang ke klinik.
”Harapan kami, setelah terbiasa menggunakan layanan di sini, mereka terus menggunakan fasilitas kesehatan kami,” ucapnya. Hingga kini jumlah pasien BPJS Kesehatan yang terdaftar di Klinik Pratama BUMDes Sehat Kecamatan Pati hampir 300 orang.
Klinik itu merupakan satu di antara tujuh klinik yang dioperasikan PT Maju Berdikari Sejahtera Pati (MBSP). PT MBSP yang berdiri sejak Februari lalu merupakan unit usaha BUMDes Bersama Mandiri Sejahtera Pati. BUMDes tersebut wujud kerja sama antardesa yang terdiri atas 159 desa di Pati.
Klinik Pratama BUMDes Sehat Kecamatan Pati resmi melayani pasien sejak Juni lalu. Sebulan sebelumnya MBSP membuka klinik pertama mereka di Kecamatan Trangkil. Lalu secara berturutturut meresmikan tiga klinik lagi pada periode Agustus hingga September. Yakni di Kecamatan Tlogowungu, Kecamatan Wedarijaksa, dan Kecamatan Margoyoso. Sementara dua klinik sisanya masih dalam penyelesaian. Pengelola menargetkan operasi dua klinik di Kecamatan Tayu dan Dukuhseti itu bisa berjalan sebelum akhir tahun.
Sedikitnya jumlah pasien yang berobat menjadi tantangan tersendiri. ”Pagi biasanya ada dua sampai tiga pasien. Kalau sore lima pasien,” sebut dr Ayu.
Sedikitnya jumlah kunjungan pasien juga terasa di klinik di
Kecamatan Wedarijaksa. Dokter Dirga Herdianta Putra menjelaskan, jadwal dokter terbagi dalam dua sif. Tiap sif melayani dua hingga tiga pasien.
Terlepas dari jumlah pasien yang berkunjung, keberadaan Klinik Pratama BUMDes Sehat itu bermanfaat untuk mengurangi tumpukan antrean di puskesmas. Menentukan lokasi klinik pun tidak sembarangan. Untuk itu, PT MBSP bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat. Di mana yang tingkat penyerapannya masih kurang, di situlah dibangun klinik. Tapi, mendapatkan pasien memang tidak semudah membalik telapak tangan. ”Kalau dulu ada pembagian kuota untuk BPJS, sekarang kami harus mencari pasien sendiri,” ucap dr Dirga.
Sebagai strategi mengakuisisi pasien, lanjut Dirga, ada tim khusus yang menangani itu. Tim tersebut mendatangi lurah atau kepala desa setempat untuk meminta izin melakukan sosialisasi ke warga desa. ”Keinginan kami, satu klinik bisa menjangkau satu kecamatan. Tapi, prioritasnya memang di wilayah sekitar,” terangnya.
Apalagi, letak puskesmas hanya sekitar 2 kilometer dari klinik. Sehingga masyarakat memiliki alternatif pilihan untuk berobat. Ke depan, Dirga meyakini, jumlah kunjungan ke klinik terus meningkat sejalan dengan sosialisasi yang gencar. Optimisme itu sejalan dengan rencana menteri kesehatan yang ingin mengembalikan fungsi puskesmas sebagai fasilitas kesehatan yang fokus pada upaya promotif dan preventif. Dengan demikian, layanan kuratif dan rehabilitatif bisa ditangani klinik.
Direktur Utama PT MBSP Reza Adiswasono menyatakan, tidak sembarang orang bisa mengembangkan bisnis di bidang kesehatan. Biasanya mereka yang serius menggarap bisnis di bidang kesehatan adalah orang-orang yang lama berkecimpung di dunia kesehatan seperti para dokter. ”Bagi saya yang bukan orang kesehatan, ini menjadi tantangan tersendiri,” ungkapnya.
Penyusunan direksi PT MBSP, termasuk penunjukan Reza, dilakukan melalui musyawarah antardesa yang diikuti BUMDes Bersama Mandiri Sejahtera Pati dan perwakilan kepala desa dari 159 desa. Sementara pemilihan klinik sebagai salah satu pengembangan usaha perseroan tidak terlepas dari saran beberapa pihak, salah satunya wakil bupati Pati. Pertimbangan lain datang dari sisi pendapatan. Kerja sama dengan BPJS Kesehatan membuat imbal keuntungan dari klinik terlihat kian seksi. ”Klaim berapa pun pasti dibayar. Bahkan, kalau tidak ada yang berobat, BPJS tetap melakukan pembayaran pada klinik. Nah, ini menarik,” jelasnya.
Angan untuk mendapatkan keuntungan berlipat memang masih jauh. Hingga kini bisnis dari klinik masih belum membukukan keuntungan. Tapi, yang penting sekarang, bagaimana Klinik Pratama BUMDes Sehat bisa membantu penyerapan pasien di puskesmas. ”Kami tidak kejar ribuan pasien. Yang kami kedepankan adalah pelayanan,” tegas dia.
Menurut Reza, pihaknya masuk ke bidang kesehatan untuk memaksimalkan layanan kesehatan hingga tingkat kecamatan. ”Kerennya kami, kalau BUMD untuk pemerintah daerah, nah kalau BUMDes langsung ke desa. Jadi, hasil dari keuntungan kembali lagi ke desa,” ujarnya.
Tapi, sejak semula pihaknya sudah menekankan kepada para kepala desa bahwa mendapatkan keuntungan dari usaha klinik memang tidak mudah dan cepat. Padahal, modal yang dibutuhkan untuk membangun klinik tidak sedikit. Investasi yang ditanamkan untuk membangun satu klinik bisa mencapai Rp 250 juta. Sehingga total untuk tujuh klinik mencapai Rp 1,75 miliar.
Selain klinik, PT MBSP memiliki bidang usaha lain, yaitu infrastruktur dan pertanian serta industri kreatif. ”Bisnis kami di bidang infrastruktur dan pertanian sudah membukukan omzet Rp 1 miliar,” ungkapnya. Dalam menekuni bisnis itu, Reza bekerja sama dengan PT Mitra BUMDes Nusantara. Keduanya sepakat mendirikan perusahaan bernama
PT Mitra Desa Pati yang bergerak di usaha bidang perdagangan, salah satunya semen.
Perusahaan tersebut juga memasarkan ready mix, yaitu beton yang sudah siap untuk digunakan tanpa perlu lagi pengolahan di lapangan. ”Sebenarnya potensi untuk pembangunan infrastruktur di desa besar. Tapi, dana kami masih pas-pasan untuk mengambil itu semua,” jelasnya.
Bisnis PT MBSP berikutnya adalah industri kreatif, yakni membangun co-working space
yang berada di kawasan strategis di Pati. Mengembangkan coworking space bermula dari keinginan untuk memiliki kantor sendiri. ”Tapi, kalau sendiri itu kurang asyik, makanya kami kembangkan co-working space,”
kata dia. Dan itu menjadi satusatunya co-working yang dimiliki desa di Indonesia.
Hingga kini co-working space
BUMDes seluas 600 meter persegi itu sudah menjadi tempat favorit komunitas pengusaha seperti Kadin (Kamar Dagang dan Industri) serta Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) hingga instansi pemerintah untuk melakukan pertemuan (meeting).
Seperti siang itu, satu-satunya ruangan paling besar di co-working space di Jalan Penjawi tersebut dipenuhi pegawai negeri sipil. Ada sekitar 50 pegawai yang mengikuti pelatihan. ”Kalau sudah begini, seluruh tim saya pindah menjadi satu ruangan. Ada sih yang protes, tapi mau bagaimana lagi?” jelas dia.
Sebenarnya Pati tidak kekurangan jumlah hotel. Hotel menjadi jujukan untuk menggelar meeting. ”Sebenarnya itu yang mau saya ubah. Meeting juga bisa dilakukan di co-working space,” tuturnya.
Dengan keterbatasan ruang yang dimiliki sekarang, ke depan Reza ingin memperbesar kapasitas ruangan. Meski lahan dan bangunan yang ditempati untuk co-working space berasal dari sewa, melakukan renovasi dirasa masih memungkinkan.
Bahkan, kopi yang disajikan khusus diambil dari produksi Pati.