Komitmen Pemenuhan HAM Masih Rendah
JAKARTA, Jawa Pos – Kinerja pemenuhan hak asasi manusia (HAM) pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai masih sangat rendah. Selama periode 2015–2019, skornya hanya 3,2. Nilai tersebut sebenarnya meningkat 7,6 poin jika dibandingkan saat Jokowi mengawali pemerintahan pada 2014 dengan kinerja HAM 2,45. Namun, dengan nilai tertinggi di angka 7, skor itu masih jauh dari harapan publik.
Data tersebut merupakan hasil survei yang dirilis SETARA Institute kemarin (10/12). ’’Sejak awal, memang ada keraguan rezim ini akan menjadikan isu HAM sebagai prioritas,’’ kata Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani dalam diskusi di Bakoel Koffie, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, kemarin.
Ada 11 indikator HAM yang diteliti lembaga tersebut sebagai basis pengukuran data. Indikasi itu terbagi menjadi dua kategori. Yakni, hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Hasilnya, ada beberapa indikator yang skornya masih jauh dari angka moderat. Yaitu, nilai 4. Selebihnya, banyak yang mendapat skor 3, bahkan di angka 2 (selengkapnya lihat grafis).
Ismail menjelaskan, pemerintahan Jokowi dinilai tidak mengadopsi perspektif HAM secara memadai. Faktor itu dipengaruhi sejumlah orang dekat dalam lingkaran kekuasaan yang diduga sebagai aktor pelanggaran HAM. ’’Penuntasan kasus HAM masa lalu, misalnya, tidak ada kemajuan sampai sekarang,’’ tegasnya.
Padahal, jelas dia, dalam Nawacita periode 2014–2019, Jokowi ingin membentuk komite pengungkapan kebenaran atas sejumlah kasus HAM masa lalu. Menurut Ismail, itulah salah satu ide brilian. Namun, belakangan pemerintah justru berdebat tentang jalur penanganan. Entah itu melalui proses yudisial atau nonyudisial.
Kinerja bidang kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menurun. Pada periode 2014, skor bidang itu mencapai 2,57. Nah, saat ini skornya kembali melorot ke angka 2,4. Ternyata pemerintah daerah turut menjadi aktor dalam pelanggaran. Termasuk kepolisian, satpol PP, lembaga pengadilan, dan institusi pendidikan. Ada juga aktor non-negara seperti kelompok warga, ormas keagamaan, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Peneliti HAM dan Perdamaian SETARA Institute Selma Theofany mengungkapkan, pelanggaran atas kebebasan beragama muncul akibat politisasi isu-isu SARA. Selama 2015–2019, politisasi isu SARA kerap mengemuka menjadi politik identitas. ’’Ini memicu indeks kebebasan beragama dan berekspresi jadi turun,’’ papar Selma.
Kondisi tersebut juga dipengaruhi regulasi yang diskriminatif dan tidak mengadopsi perspektif HAM. Narasi radikalisme yang dibangun pemerintah juga ikut memperkeruh suasana.