Kaji Ulang Regulasi Kemitraan UMKM
JAKARTA, Jawa Pos – Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengkritisi Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta tentang pola kemitraan mal dan UMKM. Khususnya terkait penyediaan lokasi usaha, pasokan, atau fasilitas. Bagi APPBI, regulasi yang dicanangkan per 31 Mei tahun lalu itu memberatkan dan bertentangan dengan cita-cita sektor ritel untuk tumbuh.
’’Kondisi pusat perbelanjaan zaman sekarang sudah tidak seperti tahun 90-an. Saat itu mungkin hanya butuh waktu 3–4 tahun untuk break event point. Tapi, sekarang butuh waktu 11–12 tahun untuk BEP. Jika ditambahi regulasi seperti itu, akan makin berat,’’ ujar Ketua Umum APPBI Stefanus
Ridwan kemarin (10/12).
Aturan itu memang hanya diterapkan di Jakarta. Namun, APPBI yakin regulasi tersebut bakal diterapkan di kota-kota lain jika sukses di Jakarta. Karena itu, APPBI mengimbau pemerintah pusat untuk meninjau ulang aturan tersebut.
Dari tiga pola kemitraan yang diatur dalam perundangan itu, APPBI paling berat menerapkan klausul penyediaan lokasi usaha. Pengelola diwajibkan menyediakan ruang usaha 20 persen secara gratis untuk pelaku UMKM. Menurut Stefanus, aturan itu mustahil diterapkan. Terlebih, saat ini bisnis pusat perbelanjaan tidak baik.
’’Misalnya, pengusaha punya 90 ribu meter persegi. Dengan regulasi itu, kita wajib menyediakan sekitar 18 ribu meter persegi untuk UMKM. Itu hampir satu lantai luasnya. Padahal, pengelola pusat belanja sangat mengandalkan pendapatan dari sewa,’’ jelas Stefanus.
Di sisi lain, Ketua Umum Hippindo Budiharjo Iduansjah mengatakan bahwa selama ini pengusaha pusat perbelanjaan sudah melakukan berbagai upaya untuk memberdayakan UMKM. Salah satunya mengadakan pameran UMKM empat kali setahun.
’’Memang, kami dan pemerintah harus menyamakan definisi tentang UMKM. Sebab, sejauh ini 40 persen dari tenant mal itu adalah UMKM. Lalu, UMKM seperti apa yang dimaksud?’’ papar Budiharjo.