Tahan Buang Air kalau Truk Tangki Belum Datang
Sepanjang perjalanan di Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, pohon-pohon meranggas. Rerumputan mati. Sungai-sungai kering. Di desa nan tandus itu, warga berseloroh ’’air lebih berharga daripada emas”.
DENGAN kecepatan rata-rata 80 kilometer per jam, Denpasar– Tulamben yang berjarak 91,6 kilometer bisa ditempuh dengan waktu tiga jam. Perjalanan darat itu cukup menguras energi. Namun, rasa letih tersebut terbayar oleh pemandangan di kaki Gunung Agung. Dari atas bukit, ladangladang terlihat indah. Bak permadani hijau terhampar. Pantai timur Pulau Bali juga tampak biru.
Sayang, memasuki wilayah Kecamatan Kubu, panorama yang hijau berganti menjadi tandus. Puncak kekeringan ada di Desa Tulamben. Di sana matahari seperti ”lebih dekat” ke bumi. Panas menyengat. Bukit di kiri kanan jalan kering. Satu dua pohon menyembul tanpa dedaunan. Sungai-sungai sudah lama kehabisan air. Yang tersisa tinggal kerikil, pasir, dan batu-batu gunung
Insiden ban bocor mewarnai perjalanan. Ban tubeless itu meledak saat dikompresor. Terpaksa diganti ban baru. ’’Motornya nggak tahan panas aspal. Jadi meledak,” kata montir bengkel Komang Mudra sambil memperbaiki ban Jumat lalu (13/12).
Dari bengkel, perjalanan kami arahkan ke atas bukit yang tandus tempat dua sekolah berada. Yang pertama SDN 2 Tulamben, dicapai dengan jarak sekitar 1,5 kilometer dari jalan raya. Setelah itu ke SDN 5 Tulamben yang perjalanannya sekitar 1,4 kilometer ke atas bukit.
Saat saya memasuki gerbang SDN 2 Tulamben, anak-anak baru saja selesai gotong royong membersihkan halaman sekolah. Suara gaduh terdengar dari mereka yang berlarian. Bekas kaki menimbulkan debu tebal karena tersapu angin. ’’Anak-anak bebas karena sudah ujian pertengahan semester. Masuk cuma bersihbersih sekolah,” kata Kepala SDN 2 Tulamben I Made Sumerta.
Sumerta mengajak Jawa Pos melihat ke sekeliling sekolah. Area berukuran 30 x 30 meter itu terdampak kekeringan ekstrem selama kemarau ini. Tanaman layu. Pihak sekolah kesulitan air. Satu-satunya cara adalah membeli air tangki. Satu tangki dengan kapasitas 5.000 liter dibeli seharga Rp 100 ribu. ’’Satu tangki bertahan dua minggu. Bahkan kurang,” tuturnya.
Air tangki dipakai untuk berbagai kebutuhan. Mulai menyiram halaman, tanaman, hingga persediaan di kamar kecil siswa dan guru. Air ditampung di tempat penampungan yang biasa disebut cubang. Jika musim hujan, cubang akan dimanfaatkan untuk menampung air hujan. Cubang milik SDN 2 Tulamben bisa menampung dua tangki air. ’’Itu bisa dipakai persediaan tiga minggu,” ucap Sumerta.
Untuk pengadaan air tangki, pihak sekolah mengandalkan dana bantuan operasional sekolah daerah (bosda). Keputusan itu diambil dari musyawarah dengan para guru dan wali murid. Mereka semua memahami pengeluaran tersebut karena pembelian air tangki adalah agenda rutin yang dilakukan setiap musim kemarau seperti saat ini. ’’Dari mana kalau tidak andalkan bosda. Iuran guru atau murid tidak mungkin,” tuturnya.
I Made Dwiyana, guru lainnya, menuturkan bahwa air kerap kali habis dari waktu yang diperkirakan. Jika tidak dikontrol, pemakaian air bisa melebihi target. ’’Dan itu kan pengaruh ke anggaran,” tuturnya.
Pihaknya pernah menstok sampai 18 tangki air. Harapannya bisa dipakai selama enam bulan sejak Juli sampai Desember. Namun, air habis lebih cepat. Air hanya bertahan tiga bulan. Yaitu Juli–September lalu. ’’Selebihnya beli lagi sampai sekarang,” tuturnya.
Kondisi SDN 5 Tulamben lebih parah. Karena letaknya yang jauh di atas bukit, sekolah sulit mendapat air tangki. Kalaupun bisa ada pengiriman, harganya lebih mahal, menjadi Rp 150 ribu per tangki. Itu pun tidak pasti setiap saat mendapat suplai air. Jika permintaan sedang banyak, sekolah harus inden dulu untuk mendapat giliran suplai berikutnya. ’’Sehingga beberapa kali persediaan air sekolah kosong,” tutur I Gede Sumardana, guru sekaligus penanggung jawab operasional SDN 5 Tulamben.
Jika persediaan air kosong, guru kebingungan. Khawatir dengan siswa-siswi yang kebelet buang air. Jika dalam kondisi itu, pihak sekolah hanya bisa mengimbau untuk menahan buang air sampai suplai air tangki datang. ’’Atau kalau tidak tahan sekali, mungkin ada yang buang air di sawah-sawah sekitar,” tuturnya.
Kebutuhan air biasanya melonjak pada triwulan keempat. Yaitu, periode Oktober–Desember. Maklum, itu adalah puncak musim kemarau. SDN 5 Tulamben sampai menghabiskan empat tangki per bulan. Padahal, bulan sebelumnya, maksimal dua tangki per bulan. ’’Memang kebutuhan air tinggi. Terutama untuk siram halaman sekolah agar tidak berdebu. Dan mengisi toilet siswa dan guru,” ujar Gede Sumardana.
Made Merte, warga sekitar, menuturkan bahwa bencana kekeringan telah menjadi langganan warga Kecamatan Kubu. Terutama Desa Tulamben. Biasanya kekeringan mulai mengintai warga sejak Juli. Nah, tahun ini berlanjut hingga Desember. Padahal, 2018 lalu, tutur dia, hujan sudah mulai turun pada awal Desember. ’’Praktis enam bulan ini tidak hujan,” kata Made Merte.
Warga Desa Tulamben sangat berharap musibah tahunan tersebut bisa diatasi. Yaitu, dengan melakukan pipanisasi. Sumber air bisa diambil dari air sumur bor di pinggir Pantai Tulamben. Sekitar 500 meter dari bibir pantai setempat memang ada sumur bor yang dibangun Pemprov
Bali pada 2000. Untuk mendapat air, warga harus mengangkut secara manual dengan ember. Itu cukup menguras tenaga karena jaraknya lebih dari 2 kilometer dari rumah penduduk. ’’Kami berharap ada pipanisasi ke rumah-rumah penduduk. Air bisa dialirkan dari sumur bor,” imbuh Made Merte.
Selama kemarau, warga Desa Tulamben harus merogoh kocek lebih demi biaya membeli air tangki. Sejak Juli hingga sekarang, ujar Merte, dirinya sudah menghabiskan sedikitnya Rp 2 juta untuk membeli air. Itu hanya dipakai untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Belum termasuk untuk minum.
Bagi warga yang memiliki hewan ternak, tentu lebih banyak lagi pengeluarannya. Biaya beli air minimal Rp 2,5 juta selama musim kemarau. ’’Bagi kami, kebutuhan paling vital itu air. Musim kemarau seperti sekarang, air lebih berharga daripada emas,” ucap pria 45 tahun itu, lalu tertawa.
Ironisnya, kekeringan akut yang melanda warga desa setempat kerap menjadi komoditas politik saat musim pemilihan umum (pemilu). Baik saat pemilihan anggota legislatif (pileg) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Menurut Made Merte, para kandidat yang datang kampanye ke Tulamben kerap berjanji untuk memperjuangkan ketersediaan air. ’’Jualan” tersebut dinilai cukup mengena untuk menarik simpati dan dukungan penduduk setempat. ’’Tapi, setelah terpilih lupa. Namanya juga politik,” cetus pria yang juga penjaga sekolah di SDN 2 Tulamben itu.