Jawa Pos

Malu Mengaku karena Tabu

Umumnya, vaginismus diketahui saat kali pertama berhubunga­n seksual. Namun, tak tertutup kemungkina­n perempuan menopause mengalamin­ya. Nyeri hebat, kejang, hingga gagal sanggama.

-

VAGINISMUS masuk kategori disfungsi seksual pada perempuan. Pada 2018, hasil riset tim Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusu­mo (RSCM) Jakarta menemukan fakta tentang disfungsi seksual. Persentase­nya, 90 persen dari 300 perempuan sebagai responden mengalami disfungsi seksual. Artinya, ada 270 orang disfungsi seksual. Namun, hanya 6 persen dari 270 orang yang mengakui bahwa dirinya mengalami disfungsi seksual.

Menurut dr Grace Valentine SpOG, hasil tersebut sangat memprihati­nkan. Lantas, mengapa banyak perempuan yang tidak mengaku disfungsi seksual? Dia menyebut sejumlah alasan. ’’Misalnya, terkena vaginismus. Vaginismus dinilai sebagai hal tabu. Jadi, mereka malu untuk ngomong ke pasangan, bahkan tidak ke dokter,” papar spesialis kebidanan dan kandungan yang berpraktik di RSCM itu saat ditemui di Hong Kong Café Menteng, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu lalu (27/11).

”Dari hasil survei RSCM, memang tidak didetailka­n berapa jumlah penderita vaginismus. Tapi, vaginismus masuk dalam 270 orang tersebut, meski jumlahnya tidak besar,”

tambahnya.

Dokter yang berpraktik di Bamed Women’s Clinic itu menuturkan, vaginismus dikategori­kan sebagai kontraksi otot yang tidak disadari dan tak dapat dikendalik­an. Dampaknya, rasa nyeri akan muncul terus-menerus atau berulang di sepertiga bagian luar vagina dan sekitar kemaluan.

Jika dibiarkan, kondisi tersebut bakal mengganggu kualitas hubungan dengan pasangan. Rasa takut untuk berhubunga­n seksual akan muncul. Grace mengatakan, ada dua jenis vaginismus: primer dan sekunder. ”Vaginismus primer menggambar­kan kondisi perempuan yang tak bisa berhubunga­n sama sekali akibat rasa sakit dan sulit penetrasi,” terang alumnus Fakultas Kedokteran Universita­s Indonesia itu.

Pada vaginismus sekunder, penetrasi dan orgasme pernah terjadi. Namun, hal itu kemudian berubah karena trauma atau masalah medis yang memengaruh­i kondisi vagina.

Ditemui di lokasi yang sama dengan Grace, dr Ni Komang Yeni SpOG mengatakan bahwa vaginismus bisa dialami siapa saja. Menurut dokter yang juga berpraktik di Bamed Women’s Clinic tersebut, beberapa perempuan mengalami vaginismus justru pada masa menopause. Mengapa? Sebab, perempuan menopause mengalami penurunan kadar estrogen, pelumasan, dan elastisita­s vagina.

 ?? FOTO ILUSTRASI DIPERAGAKA­N RIZNA MIFTA - FOTO: HANUNG HAMBARA/JAWA POS ??
FOTO ILUSTRASI DIPERAGAKA­N RIZNA MIFTA - FOTO: HANUNG HAMBARA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia