Mungkin Dampak Trauma Masa Lalu
Ada sensasi panas seperti terbakar dan rasa nyeri hebat saat bersanggama.
Penetrasi sulit dan terasa ketat sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman.
Pada kasus yang parah, vagina sepenuhnya menutup saat upaya penetrasi.
Penyebab rasa sakit seksual yang berlangsung tidak diketahui.
Sulit menjalani pemeriksaan ginekologi.
Terjadi kaku otot pada anggota tubuh seperti kaki, punggung bawah, dll. Akibatnya, hubungan seksual yang sedang berlangsung berisiko terhenti akibat kekakuan otot (kram).
Cenderung menghindari seks akibat rasa sakit dan sering gagal melakukan hubungan intim.
Beberapa poin tersebut merupakan tanda dan gejala vaginismus.
KEGAGALAN berhubungan seksual dengan suami meruntuhkan kepercayaan diri pasien. Tak banyak pasien yang bersedia menceritakan problemnya. Padahal, dokter perlu mengetahui keluhan pasien agar dapat melakukan penanganan pada vaginismus.
Menurut dr Ni Komang Yeni SpOG, terapi disesuaikan dengan jenis vaginismus. Misalnya, seseorang mengalami vaginismus karena trauma seksual di masa lalu. Jika kondisinya seperti itu, pasien perlu mendapat pendampingan dari psikiater. Artinya, kolaborasi antara psikiater dan dokter kebidanan-kandungan.
Lantas, apakah pasien vaginismus bisa sembuh? ”Ada dua kemungkinan. Bisa sembuh dan tidak,” ujar dokter yang aktif dalam Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia itu.
Dr Agung Frijanto SpKJ menuturkan, vaginismus akan menimbulkan rasa tidak percaya diri pada perempuan. Perasaan insecure karena tidak sukses dalam berhubungan seksual juga muncul. Bahkan, tak jarang hal itu berakhir dengan depresi.
Agung menjelaskan, riwayat pelecehan atau kekerasan seksual dapat memunculkan trauma psikologis yang memicu disfungsi seksual. Pada kondisi tersebut, pasien vaginismus membutuhkan psikoterapi dan farmakoterapi.
Pengurus pusat Indonesian Psychiatric Association itu melanjutkan, psikiater akan melakukan konseling pada pasien di tahap psikoterapi. Pasien diajak mengobrol dari hati ke hati untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. ’’Nah, diiringi farmakoterapi untuk mengatasi depresi atau kecemasannya,” terang Agung.
Menurut psikiater yang berpraktik di RS Jiwa dr Soeharto Heerdjan Jakarta itu, durasi pengobatan didasarkan pada kondisi setiap pasien. Yang tak kalah penting adalah support system di lingkungan pasien. Salah satunya, dukungan suami terhadap kondisi istri.