Para Pendukung Pertunjukan Adalah Penyandang Disabilitas
Wayang Inklusi dengan lakon Babat Alas Amarta memang tidak tampil membahana dengan tata panggung megah. Namun, penampilan bersahaja para pemain sanggup membuat penonton emosional. Sesak dengan rasa haru dan bangga.
Wayang Inklusi Berlakon Babat Alas Amarta yang Bikin Haru
WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Jawa Pos
SEPANJANG pertunjukan selama 120 menit, tidak sedikit penonton yang tersenyum dan tertawa melihat aksi para pemain Wayang Inklusi. Namun, pertunjukan yang berlangsung di Gedung Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana pada Sabtu malam (14/12) itu juga bikin penonton menyeka air mata. Dada terasa hangat, merinding, dan tak
terasa mata pun basah. Haru dan sekaligus bangga dengan para pemainnya.
Memang, sesuai namanya, Wayang Inklusi, hampir semua pendukung pertunjukan itu adalah penyandang disabilitas. Bukan hanya pelakon. Para personel musik pengiring juga penyandang disabilitas
J
Di antara 22 personel, hanya empat yang kondisinya normal. Tak heran, alunan biola syahdu membuat mata penonton berkacakaca. Lantunan suara Agnes, mahasiswa tunanetra Universitas PGRI Adi Buana, saat bernyanyi seolah ’’bertarung” dengan helaan napas penonton yang menahan diri untuk tidak menangis.
Event khusus tersebut merupakan hasil kerja sama Universitas PGRI Adi Buana dan Komunitas Mata Hati. Jalan ceritanya merupakan lanjutan pergelaran sebelumnya yang berjudul Gatot Kaca Rindu Sosok. ”Ini acara kelima sejak 2014,” ucap founder Komunitas Mata
Hati (KMH) Gandi Wicaksono.
Sejak lima tahun lalu, pertunjukan musikalitas Wayang Inklusi selalu membawa pesan. Khususnya bagi penyandang disabilitas. Mulai komitmen nasionalisme difabel hingga keterbukaan pendidikan tinggi mereka yang berkebutuhan khusus.
Menurut Gandi, jika semua difabel bisa berkumpul dan bersatu, tentu ada kekuatan besar yang bisa terbentuk. Termasuk motivasi mereka untuk tetap mengembangkan bakat. Gandi mengungkapkan, meski penyandang disabilitas, rekan-rekannya itu adalah orangorang hebat. ”Ada yang sedang menempuh pendidikan S-2. Ada yang juara musik. Ada juga relawan,” paparnya.
Selain itu, ada siswa SD SLB yang ikut mentas. Namanya Heri. Sejak kecil Heri tidak bisa melihat. Tetapi, hal itu tidak tergambar di atas panggung. Berperan sebagai jin kecil, Heri mampu menghidupkan panggung. Daya ingatnya juga cukup kuat. Dia sudah hafal 18 juz Alquran. Dia bercita-cita menjadi ustad. ”Kalau jadi jin ini ya cuma peran,” katanya riang.
Danny Heru, pemeran Yudistira, mengungkapkan, tidak dimungkiri ada beberapa kendala dalam pementasan. Salah satunya, kesulitan saat di tengah panggung. Karena tidak bisa melihat, dia pun tak bisa leluasa di pentas. Apalagi saat turun panggung, dia harus dituntun agar tidak jatuh. Tetapi, itu tidak jadi masalah. ”Ini adalah pertunjukan motivasi sekaligus pelajaran untuk selalu bersyukur,” kata Danny yang sekaligus ketua KMH.
Wakil Rektor III Universitas Adi Buana Pungut Asmoro mengatakan, pertunjukan tersebut adalah hasil kerja sama antara prodi jurusan pendidikan khusus dan Komunitas Mata Hati.
Pungut menambahkan, tawa dan air mata memang tidak bisa lepas dari pergelaran tersebut. Perasaan itu muncul bukan karena penyandang disabilitas sebagai bahan lelucon, melainkan ada pesan yang sangat penting. ”Perasaan bangga kepada mereka,” katanya.