Revivalisme Majapahit; Antara Fantasi dan Mythomoteur
KERUNTUHAN Kerajaan Majapahit pada seperempat awal abad ke-16, rupanya, tidak sertamerta menghapusnya dari memori kolektif masyarakat Jawa dan Nusantara. Misalnya, yang saat ini ramai diperbincangkan, baik di media massa maupun media sosial, terkait dengan kemunculan Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo, Jawa Tengah
Berdasar klaim pendirinya, KAS hadir sebagai wujud penunaian janji 500 tahun dari runtuhnya Kerajaan Majapahit pada 1518. Maka, 500 tahun sesudahnya, tepat pada 2018, KAS hadir untuk melaksanakan perjanjian yang dilakukan Dyah Ranawijaya sebagai penguasa terakhir Kerajaan Majapahit dengan Portugal sebagai wakil orang-orang Barat di Malaka.
Alih-alih mengembalikan kekuasaan dunia ke tanah Jawa dan memperbaiki kemerosotan sistem dunia seperti cita-citanya, si pendiri KAS beserta sang ratu justru harus berurusan dengan pihak berwajib.
Sebelum kasus itu muncul, setidaknya publik Indonesia mungkin masih ingat beberapa peristiwa lain dengan pola serupa. Yakni, model gerakan atau tokoh yang mengusung revivalisme berbasis tradisi dalam budaya tertentu, atau lebih khusus lagi terkait dengan Majapahit.
Suatu contoh, terdapat beberapa tokoh yang mengklaim dirinya sebagai raja Majapahit atas suatu wilayah tertentu dan berniat merestorasi kejayaannya. Tidak semua bernasib buruk seperti yang dialami pendiri KAS.
Malahan, seorang tokoh dengan klaim semacam itu berhasil masuk ke parlemen. Bisa jadi, keberhasilan tokoh tersebut semakin memacu menjamurnya tokoh dan gerakan lainnya dengan mendasarkan ide revivalisme Majapahit dalam sepak terjangnya.
Revivalisme Majapahit yang dimaksud di sini adalah ide akan kebangkitan suatu masa keemasan yang pernah dicapai kerajaan tersebut pada masa lalu. Menurut Henley dan Davidson (2008), revivalisme semacam ini semakin menjamur di Indonesia pascareformasi karena berbagai macam faktor. Di antaranya politik, ekonomi, dan sosial.
Hilangnya kekuasaan yang terpusat dan kemudian menyebar ke berbagai daerah dengan kebijakan desentralisasi, rupanya, diikuti pula oleh kemunculan sosok-sosok yang merasa dirinya memiliki peluang untuk tampil ke muka. Dengan bermodal isu kebangkitan tradisi, adat, atau budaya tertentu.
Apabila menelisik pada sejarah, memori kejayaan Majapahit terus melekat pada masyarakat karena selalu diproduksi dan direproduksi dari masa ke masa. Khususnya dari kalangan istana.
Kondisi tersebut terjadi karena para penguasa mendapatkan manfaat, khususnya legitimasi atas kekuasaan berdasar ikatan darah dengan para raja Majapahit ataupun hubungan dekatnya dengan kerajaan tersebut. Hal itu bisa dilihat dalam berbagai karya seperti babad dan kidung dari Jawa, Bali, dan sekitarnya maupun hikayat seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dari ujung barat Nusantara.
Eksistensi nubuat akan kebangkitan kembali masa keemasan pun muncul dalam tradisi babad. Namun pada masa yang lebih muda seperti pada Babad Kedhiri dan Serat Darmagandhul.
Disebutkan, tokoh Sabdapalon Nayagenggong (terkadang tampil sebagai seorang tokoh tunggal, tapi di lain waktu merupakan dua tokoh yang berbeda) sebagai seorang abdi setia dari raja Majapahit terakhir.
Tokoh itulah yang kemudian meramalkan bahwa masa kejayaan akan bangkit kembali selang beberapa ratus tahun sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit. Dari tradisi itulah kemudian berkembang berbagai keyakinan terkait dengan kebangkitan Majapahit dan Indonesia hingga hari ini.
Bagi sebagian kalangan, babad, serat, kidung, hikayat, dan lainnya dikategorikan historiografi atau penulisan sejarah tradisional sebagai antitesis penulisan sejarah modern. Karakteristik penulisan sejarah semacam itu memiliki atmosfer religio-magis yang kental, penuh unsur mitos dan fantasi.
Terlepas dari polemik kesejarahannya, ada baiknya kita tidak melupakan sisi lain dari fenomena semacam itu sebagai mythomoteur dalam suatu kelompok tertentu. Mythomoteur adalah mitos pembentuk yang membuat suatu kelompok mampu meyakini bahwa keberadaan mereka mampu menginspirasi tindakan bersama para anggotanya.
Lebih sederhananya, kita bisa menyebutnya bagaimana suatu mitos menjadi etos bagi kelompoknya. Banyak contoh bagaimana suatu etnis atau bangsa di berbagai belahan dunia menjadi suatu bangsa besar karena mampu menjadikan mitos sebagai etos. Sebut saja bangsa Amerika dengan The American Dream-nya atau bangsa Yahudi dengan mitos bangsa terpilihnya.
Pada titik inilah seharusnya para intelektual memiliki peran penting. Jangan sampai sejarah dan warisan budaya bangsa kita seperti Majapahit hanya dimanfaatkan segelintir orang tertentu untuk kepentingan individu atau kelompoknya.
Telah banyak dipelajari di bangku perkuliahan bagaimana sejarah, arkeologi, dan ilmuilmu humaniora lainnya bisa bermanfaat bagi publik. Sekarang tinggal bagaimana pengejawantahannya. Non ridere, non lugere, neque destestari, sed intelligere. (*)