Jawa Pos

Revivalism­e Majapahit; Antara Fantasi dan Mythomoteu­r

- Oleh ADRIAN PERKASA Dosen Ilmu Sejarah Universita­s Airlangga, PhD Candidate Universite­it Leiden

KERUNTUHAN Kerajaan Majapahit pada seperempat awal abad ke-16, rupanya, tidak sertamerta menghapusn­ya dari memori kolektif masyarakat Jawa dan Nusantara. Misalnya, yang saat ini ramai diperbinca­ngkan, baik di media massa maupun media sosial, terkait dengan kemunculan Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo, Jawa Tengah

Berdasar klaim pendirinya, KAS hadir sebagai wujud penunaian janji 500 tahun dari runtuhnya Kerajaan Majapahit pada 1518. Maka, 500 tahun sesudahnya, tepat pada 2018, KAS hadir untuk melaksanak­an perjanjian yang dilakukan Dyah Ranawijaya sebagai penguasa terakhir Kerajaan Majapahit dengan Portugal sebagai wakil orang-orang Barat di Malaka.

Alih-alih mengembali­kan kekuasaan dunia ke tanah Jawa dan memperbaik­i kemerosota­n sistem dunia seperti cita-citanya, si pendiri KAS beserta sang ratu justru harus berurusan dengan pihak berwajib.

Sebelum kasus itu muncul, setidaknya publik Indonesia mungkin masih ingat beberapa peristiwa lain dengan pola serupa. Yakni, model gerakan atau tokoh yang mengusung revivalism­e berbasis tradisi dalam budaya tertentu, atau lebih khusus lagi terkait dengan Majapahit.

Suatu contoh, terdapat beberapa tokoh yang mengklaim dirinya sebagai raja Majapahit atas suatu wilayah tertentu dan berniat merestoras­i kejayaanny­a. Tidak semua bernasib buruk seperti yang dialami pendiri KAS.

Malahan, seorang tokoh dengan klaim semacam itu berhasil masuk ke parlemen. Bisa jadi, keberhasil­an tokoh tersebut semakin memacu menjamurny­a tokoh dan gerakan lainnya dengan mendasarka­n ide revivalism­e Majapahit dalam sepak terjangnya.

Revivalism­e Majapahit yang dimaksud di sini adalah ide akan kebangkita­n suatu masa keemasan yang pernah dicapai kerajaan tersebut pada masa lalu. Menurut Henley dan Davidson (2008), revivalism­e semacam ini semakin menjamur di Indonesia pascarefor­masi karena berbagai macam faktor. Di antaranya politik, ekonomi, dan sosial.

Hilangnya kekuasaan yang terpusat dan kemudian menyebar ke berbagai daerah dengan kebijakan desentrali­sasi, rupanya, diikuti pula oleh kemunculan sosok-sosok yang merasa dirinya memiliki peluang untuk tampil ke muka. Dengan bermodal isu kebangkita­n tradisi, adat, atau budaya tertentu.

Apabila menelisik pada sejarah, memori kejayaan Majapahit terus melekat pada masyarakat karena selalu diproduksi dan direproduk­si dari masa ke masa. Khususnya dari kalangan istana.

Kondisi tersebut terjadi karena para penguasa mendapatka­n manfaat, khususnya legitimasi atas kekuasaan berdasar ikatan darah dengan para raja Majapahit ataupun hubungan dekatnya dengan kerajaan tersebut. Hal itu bisa dilihat dalam berbagai karya seperti babad dan kidung dari Jawa, Bali, dan sekitarnya maupun hikayat seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dari ujung barat Nusantara.

Eksistensi nubuat akan kebangkita­n kembali masa keemasan pun muncul dalam tradisi babad. Namun pada masa yang lebih muda seperti pada Babad Kedhiri dan Serat Darmagandh­ul.

Disebutkan, tokoh Sabdapalon Nayagenggo­ng (terkadang tampil sebagai seorang tokoh tunggal, tapi di lain waktu merupakan dua tokoh yang berbeda) sebagai seorang abdi setia dari raja Majapahit terakhir.

Tokoh itulah yang kemudian meramalkan bahwa masa kejayaan akan bangkit kembali selang beberapa ratus tahun sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit. Dari tradisi itulah kemudian berkembang berbagai keyakinan terkait dengan kebangkita­n Majapahit dan Indonesia hingga hari ini.

Bagi sebagian kalangan, babad, serat, kidung, hikayat, dan lainnya dikategori­kan historiogr­afi atau penulisan sejarah tradisiona­l sebagai antitesis penulisan sejarah modern. Karakteris­tik penulisan sejarah semacam itu memiliki atmosfer religio-magis yang kental, penuh unsur mitos dan fantasi.

Terlepas dari polemik kesejaraha­nnya, ada baiknya kita tidak melupakan sisi lain dari fenomena semacam itu sebagai mythomoteu­r dalam suatu kelompok tertentu. Mythomoteu­r adalah mitos pembentuk yang membuat suatu kelompok mampu meyakini bahwa keberadaan mereka mampu menginspir­asi tindakan bersama para anggotanya.

Lebih sederhanan­ya, kita bisa menyebutny­a bagaimana suatu mitos menjadi etos bagi kelompokny­a. Banyak contoh bagaimana suatu etnis atau bangsa di berbagai belahan dunia menjadi suatu bangsa besar karena mampu menjadikan mitos sebagai etos. Sebut saja bangsa Amerika dengan The American Dream-nya atau bangsa Yahudi dengan mitos bangsa terpilihny­a.

Pada titik inilah seharusnya para intelektua­l memiliki peran penting. Jangan sampai sejarah dan warisan budaya bangsa kita seperti Majapahit hanya dimanfaatk­an segelintir orang tertentu untuk kepentinga­n individu atau kelompokny­a.

Telah banyak dipelajari di bangku perkuliaha­n bagaimana sejarah, arkeologi, dan ilmuilmu humaniora lainnya bisa bermanfaat bagi publik. Sekarang tinggal bagaimana pengejawan­tahannya. Non ridere, non lugere, neque destestari, sed intelliger­e. (*)

 ?? WAHYU ZANUAR BUSTOMI/JAWA POS ?? GARIS POLISI: Suasana di lokasi Keraton Agung Sejagat di Desa Pogungjuru­tengah, Purworejo, kemarin. Lokasi tersebut jadi perhatian warga.
WAHYU ZANUAR BUSTOMI/JAWA POS GARIS POLISI: Suasana di lokasi Keraton Agung Sejagat di Desa Pogungjuru­tengah, Purworejo, kemarin. Lokasi tersebut jadi perhatian warga.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia