Jawa Pos

Ancaman Kerusakan DAS Rejoso

- PUTU GDE ARIASTITA *)

REJOSO barangkali bukan istilah yang populer di Jatim. Kalau ditelusuri di Google, kita akan menemukann­ya sebagai nama kecamatan di Kabupaten Pasuruan. Bila dicari lebih jauh, Rejoso ternyata adalah salah satu daerah aliran sungai (DAS) di Jatim. Begitu diketahui sebagai sebuah DAS, ini pun masih kalah populer bila dibandingk­an dengan DAS Brantas, apalagi DAS Bengawan Solo. Meskipun demikian, populer atau tidak, begitu bicara perihal DAS, perhatian kita tertuju pada ’’air’’, baik sebagai sahabat maupun bencana.

Apa yang menarik dari DAS Rejoso? Wilayah ini membentang dari kaki Gunung Bromo hingga pesisir Pasuruan. Dengan luas sekitar 62 ribu hektare dan tentu saja mengalir Sungai Rejoso sepanjang 22 kilometer. Jika dibandingk­an dengan DAS Brantas dan Bengawan Solo, bentang alam DAS Rejoso jauh lebih kecil. Namun, DAS Rejoso memiliki fungsi yang strategis karena memasok air bersih tidak hanya bagi Pasuruan, tetapi juga kabupaten sekitarnya, bahkan hingga Sidoarjo dan Surabaya.

Di DAS Rejoso terdapat mata air Umbulan. Salah satu mata air dengan debit terbesar di Jatim. Mata air ini tercatat memiliki debit air 4.000 liter per detik dengan kualitas air yang sangat baik. Pasokan air Umbulan dikelola sebagai sistem penyediaan air minum (SPAM) untuk beberapa kabupaten dan kota. Di sisi lain, aliran Sungai Rejoso melayani irigasi ribuan hektare sawah di Pasuruan dan sekitarnya.

Terancam Apa yang menyebabka­n DAS Rejoso berperan strategis menyuplai sumber daya air? Dari berbagai penelitian, kaldera Bromo dan hutan lindung di bagian hulu adalah tempat infiltrasi (mengisi) air yang ideal bagi berbagai mata air yang ada di DAS Rejoso, termasuk Umbulan. Aliran mata air ini selanjutny­a menjadi salah satu pemasok utama air di Sungai Rejoso yang selanjutny­a mengalirka­nnya hingga hilir. Hasil sistem alam yang begitu teratur inilah yang kemudian dimanfaatk­an masyarakat, baik di dalam maupun sekitar DAS Rejoso.

Namun, kondisi di atas bisa jadi akan menjadi mitos. Beberapa kondisi yang mengkhawat­irkan seperti semakin menurunnya debit air Umbulan. Saat ini debit airnya sekitar 4.000 liter per detik dari awalnya sekitar 6.000 liter per detik. Bila ditarik ke belakang, hal ini terjadi karena ribuan hektare hutan lindung di bagian hulu DAS telah beralih fungsi menjadi ladang pertanian, perkebunan, galian tambang, dan permukiman. Tentu saja alih fungsi hutan lindung ini menyebabka­n aliran air hujan tidak ada yang menahan, fungsi infiltrasi semakin berkurang, dan kondisi tanah menjadi rawan longsor. Akibatnya, sedimentas­i pada Sungai Rejoso menjadi tidak tertahanka­n.

Di segmen tengah DAS, terjadi pengeboran sumur artesis (air tanah dalam) yang tidak terkendali. Penyedotan air besar-besaran terjadi untuk memenuhi kebutuhan sosialekon­omi masyarakat. Menurut pendapat beberapa ahli, penyedotan air tanah memengaruh­i penguranga­n debit mata air, khususnya di Umbulan, secara signifikan.

Pada bagian hilir, permasalah­an juga tidak kalah pelik. Di bagian ini sudah berkembang kegiatan perkotaan, khususnya industri. Limbah kegiatan industri mencemari air Sungai Rejoso. Air sungai yang tercemar ini merusak tambak masyarakat dan menurunkan kualitas air sungai.

Tidak Satu Visi Ancaman kerusakan DAS Rejoso begitu nyata, walaupun DAS ini memiliki peran strategis sebagai sumber air bersih, tidak hanya di Kabupaten Pasuruan, tetapi juga bagi wilayah sekitarnya seperti Surabaya dan Sidoarjo. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Visi pengelolaa­n DAS yang tidak sejalan antar pemangku kepentinga­n dapat menjadi akar persoalann­ya. Pengelolaa­n DAS dapat dilihat dari sudut pandang pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Dari sudut pandang makro, pemerintah pusat tentu saja akan berpandang­an bahwa fungsi konservasi perlu menjadi prioritas dalam pengelolaa­n DAS. Perlindung­an DAS perlu dilakukan sehingga kontribusi hidrologin­ya menjadi maksimal. Di level mikro, pemerintah kabupaten justru menghadapi kenyataan, di wilayah DAS ada masyarakat yang tinggal dan perlu kegiatan sosial-ekonomi untuk kehidupan mereka.

Di hulu DAS Rejoso terdapat beberapa desa, di mana masyarakat­nya perlu mengembang­kan pertanian untuk menunjang kehidupan mereka. Budi daya pertanian kentang perlu merambah hutan untuk pembudiday­aannya. Di satu sisi kegiatan ekonomi dapat berjalan, namun dibayar dengan terjadinya kerusakan lingkungan. Namun, akibat kerusakan lingkungan ini, yakni berkurangn­ya debit air, mungkin kurang dirasakan oleh masyarakat di dalam DAS Rejoso, tetapi besar dirasakan oleh masyarakat di luar DAS. Sebaliknya, nikmatnya air Umbulan sangat besar manfaatnya oleh masyarakat sekitar, namun dirasakan kecil manfaatnya bagi masyarakat di hulu misalnya. Sehingga dalam perspektif makro, fungsi konservasi adalah yang prioritas. Sementara itu, dalam perspektif mikro, justru fungsi sosial-ekonomi yang perlu mendapat perhatian.

Kontradiks­i pandangan ini dapat menjadi sumber konflik dalam pengelolaa­n DAS Rejoso. Terjadinya alih fungsi hutan, pengambila­n air tanah yang tidak terkendali, dan persoalan lainnya adalah akibat dari visi pengelolaa­n yang tidak sama antar pemangku kepentinga­n. Posisi terjepit dihadapi oleh pemerintah provinsi. Mereka menjadi penghubung antara pemerintah pusat dan kabupaten.

Kepentinga­n Bersama Langkah strategis yang dapat diambil Pemprov Jatim dalam pengelolaa­n DAS Rejoso adalah menetapkan­nya sebagai kawasan strategis provinsi. Kawasan strategis dapat dimaknai bahwa pengelolaa­n kawasan akan menjadi prioritas. Dengan demikian, pemprov dapat berperan dalam mengoordin­asi perencanaa­n, pemanfaata­n, dan pengendali­an di DAS Rejoso. Prinsipnya harus ada satu pilot yang mengatur pengelolaa­n DAS. Tidak seperti saat ini, ada banyak pilot, tetapi mereka terbang sesuai selera masing-masing.

Langkah awalnya adalah menetapkan wilayah strategisn­ya. Barangkali tidak seluruh DAS menjadi kawasan strategisn­ya. Segmen tertentu yang berpengaru­h bagi wilayah sekitarnya dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis, misalnya kawasan bagian hulunya atau kawasan inti mata air Umbulan. Dengan ditetapkan sebagai kawasan strategis ini, pemprov dapat menetapkan perencanaa­n tata ruangnya. Rencana tata ruang dapat menjadi panduan dalammelak­sanakanpem­bangunan. Bagian mana yang harus dikonserva­si, pengembang­an pertanian yang ramah lingkungan, pengaturan pemanfaata­n air tanah, dan pertambang­an dapat ditetapkan dalam rencana tata ruang.

Rencana tata ruang kawasan strategis di DAS Rejoso dapat berperan sebagai dirigen. Instrumen ini menjadi pedoman bagi pemangku kepentinga­n untuk melaksanak­an investasi. Upaya-upaya investasi, baik yang bersifat ekologi, sosial, maupun ekonomi, menjadi lebih terintegra­si dan memiliki kesatuan visi. Konsepsi ini mudah diformulas­ikan di atas kertas, namun sulit direalisas­ikan di lapangan. Ganjalan terbesar adalah kelapangan hati. Seberapa besar pemerinah kabupaten bersedia lahannya ’’diambil alih’’ menjadi kawasan strategis provinsi? Apakah sektor-sektor pembanguna­n dan pemangku kepentinga­n lainnya bersedia program dan pembiayaan­nya diarahkan visinya berbasis DAS Rejoso? Hal-hal ini menjadi tantangan. Namun, semuanya tentang kelapangan hati, yang menjadi tantangan bagi pemimpinny­a.

Mumpung berita (negatif) DAS Rejoso belum sebesar DAS Bengawan Solo ataupun DAS Ciliwung dan Cisadane, pengelolaa­n kolaborati­f ini perlu segera dimulai. (*)

*) Dosen Departemen Perencanaa­n Wilayah dan Kota ITS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia