Pasang Lesung di Lorong-Lorong Kampus
Ketekunan Soedijatmiko mengoleksi karya seni perkayuan dimulai sejak dirinya belajar di Jogjakarta pada 1960-an. Ketika melakukan perjalanan ke mana pun, dia menyempatkan membawa pulang barang-barang berbahan kayu. Mulai lesung, patung, hingga perabot.
KAMPUS Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya berdesain unik. Banyak dekorasi interior yang berbahan kayu. Mulai kursi, pajangan dinding, hingga patung-patung yang berbentuk burung, kura-kura, dan kuda. Usia dekorasi kayu itu pun bermacam-macam. Ada yang baru. Ada pula yang usianya tua.
Misalnya, lesung kayu panjang dan pendek. Jumlahnya sekitar sepuluh dan dipajang di setiap lorong bangunan gedung kampus. Selain itu, ada yang terbuat dari batu. Semuanya barang-barang lawas.
Barang-barang yang terpasang di sana merupakan koleksi Soedijatmiko, ketua yayasan Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya. ”Lesung ini tiba-tiba diangkut ke sini, ternyata Pak Ketua yayasan yang mengumpulkan, katanya sebagai hiasan,” ujar Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan dan Humas UWK Andi Aruji kemarin (15/1)
Soedijatmiko bukan orang yang berlatar belakang seni. Namun, hobinya gandrung mengoleksi barang-barang kayu. Baik kayu alami yang belum tersentuh para perajin maupun kayu hasil karya para seniman. Koleksinya itulah yang kini bisa ditemui di kampus UWK.
Itu pula yang dirasakan Jawa Pos ketika berkunjung ke ruang kerja Soedijatmiko di lorong selatan lantai 1 Gedung Bangsal Pancasila di kampus tersebut. Serasa memasuki museum kayu. Ruangan sederhana. Namun, tiap sudutnya dipenuhi dengan barang-barang yang semuanya berbahan kayu.
Mejanya saja bukan meja biasa. Namun, akar kayu jati yang dipotong rapi dan hanya dibalut pelitur. Kebanyakan orang bilang sebagai jati gembol. Ukurannya besar. Diameternya sekitar 1 meter. Ketinggian seperti meja pada umumnya. Yakni, setinggi lutut orang dewasa. Meja akar kayu jati tersebut ternyata diambil ketika dia berkunjung ke Jogjakarta pada 2003 silam.
Ceritanya, saat berkunjung ke kota Pelajar itu, Soedijatmiko melihat perajin kayu yang sedang memotong kayu jati. Akarnya memang besar. Khawatir akar itu dibuang begitu saja. Lantas dia memesan kayu jati tersebut untuk dipotong rapi ujung akarnya saja. Setelah itu diangkut dan menjadi meja di ruang kerjanya sampai sekarang.
Permukaan meja pun dipenuhi dengan hiasan yang juga berbahan kayu. Ada patung burung garuda Whisnu Kencana karya seniman asal Pulau Dewata. Selain itu, ada tempat penyimpanan minuman dan tisu.
Jam dindingnya pun terbuat dari kayu. Pria yang mengabdi di UWK sejak 1981 tersebut mengatakan, kesukaannya mengumpulkan barang dekorasi kayu itu muncul secara alamiah.
Dia mengungkapkan, mengumpulkan kayu tersebut merupakan salah satu cara dirinya mendekatkan diri dengan alam. Kayu merupakan simbol dari alam yang memberikan kehidupan kepada manusia. Peran dan fungsi tumbuhan menjadi kunci baik dan buruknya keberlangsungan hidup manusia. Nah, karena itulah, hubungan manusia dengan alam harus terjalin dengan baik. Satu sama lain harus saling menjaga.
Selain itu, Soedijatmiko hendak menjaga simbol-simbol kebudayaan Nusantara dalam sejarah agar bisa terus lestari hingga nanti. Dengan demikian, peninggalan-peninggalan kuno dan kearifan lokal masyarakat terdahulu bisa dipelajari lagi oleh generasi berikutnya.
Menurut dia, mempelajari simbol kebudayaan lokal memang sudah banyak tersedia refrensinya. Bagi dia, mempelajari sejarah bukan hanya membaca naskah. Namun lebih dalam lagi bisa langsung melihat bendanya dan memegang bentuknya. ”Yang namanya belajar langsung dengan tidak langsung pasti beda jauh hasilnya,” kata Soedijatmiko.
Karena alasan edukasi itulah, dia meletakkan koleksinya tersebut di kampus agar bisa dilihat langsung oleh mahasiswa. Menurut dia, jika mahasiswa sering melihat, lama-lama mereka akan bertanya apa itu lesung, asalnya dari mana, dan itu warisan masyarakat tahun berapa? ”Pasti akan bertanya toh, karena penasaran dan lamalama mereka jadi tahu dan paham ternyata lesung itu tempat masyarakat kita dulu menumbuk padi sebelum ada mesin giling seperti saat ini,” terangnya. ”Melestarikan dan mengedukasi tujuan utamanya,” katanya.
Demikian juga di Jawa. Lesung digunakan memisahkan padi dari kulit arinya. Caranya, memukulkan alu, berupa kayu panjang berbentuk silinder. Di luar Jawa, lesung bahkan masih dilestarikan. Suku Mbojo, Bima, Nusa Tenggara Barat menjadikan aktivitas menumbuk padi bersama secara berbeda. Tumbukan tersebut memunculkan irama. Jangan heran apabila lesung seperti alat musik.
Selain dikenal kolektor karya seni perkayuan, Soedijatmiko hobi mengoleksi beragam jenis tanaman dari berbagai daerah. Hobi itulah yang tertularkan pada jajaran kampus sehingga menanam ratusan pohon langka di kampus UWK. Di sekitar kampus saja sudah ada 200-an macam pohon.
Andi menjelaskan, ide penanaman pohon jenis setigi, pucuk merah, damar, sapu tangan, sawo kecik dan jenis lainnya itu berasal dari ketua yayasan yang lantas menjadi semangat penghijauan yang menyeluruh di kampus UWK. Dari sekian banyak jenis pohon itu, pohon Soekarno merupakan yang sudah jarang ditemukan sekarang saat ini.
Kebiasaan Soedijatmiko mengoleksi, mulai barang kuno sampai jenis tanaman, semakin membuat para staf dan mahasiswa mengetahui banyak hal seputar kebudayaan Nusantara. Selain itu, banyak ide yang mengarah pada upaya pelestarian tradisi.