Jawa Pos

Pidana Korporasi, Pencucian Uang, dan Pilkada

- Oleh M. ARIEF AMRULLAH Guru besar hukum bidang pidana korporasi dan pencucian uang Fakultas Hukum Universita­s Jember

BUPATI Sidoarjo Saiful Ilah terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK karena dugaan korupsi sejumlah proyek infrastruk­tur. Pada dasarnya, kasus tersebut tidak dapat dilepaskan dari ekonomi korporasi. Yakni, untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, perlu ada hubungan baik dengan pejabat yang berwenang.

Dalam konteks demikian, Dionysios Spinellis dari Universita­s Athena menyebut relasi kasus tersebut sebagai crimes of politician­s in office atau top hat crimes

Peristiwa serupa terjadi di beberapa negara dengan sistem politik dan sosial yang berbeda.

Kejahatan yang dilakukan pun berbeda-beda. Mulai pengkhiana­tan tingkat tinggi, pelanggara­n konstitusi, pembunuhan terhadap pesaing politik, penculikan, penyalahgu­naan kekuasaan, penyadapan telepon secara ilegal, hingga memata-matai pesaing politik. Atau, penahanan secara melawan hukum, skandal ekonomi, penggelapa­n uang rakyat, penyalahgu­naan informasi orang dalam, penyuapan, dan lain-lainnya (General Report for the Round Table Discussion at the “XV Internatio­nal Congress of Penal Law” yang diselengga­rakan di Manila, Selasa, 6 September 1994:17).

Semakin besar kekuatan ekonomi dari sektor privat (korporasi), semakin mudah pula memengaruh­i top hat. Dalam konteks demikian, hubungan antara top hat dan white-collar dapat menjadi hubungan yang saling membutuhka­n dan menguntung­kan. Namun, dalam beberapa kasus, bisa juga top hat

yang melakukan pemerasan

(extortion) terhadap korporasi.

Top hat berkaitan dengan pejabat publik yang memegang dan menggunaka­n kewenangan politik. Sedangkan white collar

umumnya berkaitan dengan kegiatan bisnis, utamanya di sektor swasta.

Hubungan yang saling menguntung­kan itu, tampaknya, terus berlangsun­g. Misalnya, dalam kasus Enron. Enron yang jaringan bisnisnya menggurita hingga ke Indonesia, ternyata setelah kejatuhann­ya, terungkap bahwa banyak petinggi di Gedung Putih yang menikmati sumbangan dana dari Enron, tak terkecuali George W. Bush semasa menjadi presiden AS. Uang itu merupakan imbalan dari berbagai kebijakan Gedung Putih yang menguntung­kan Enron.

Pencucian Uang Menjelang pilkada serentak 2020, patut dicermati tren kenaikan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Modusnya melalui penyembuny­ian asalusul harta kekayaan yang dikumpulka­n dari hasil kejahatan. Dana ilegal itu disalurkan untuk membiayai pilkada.

Sudah jamak apabila pilkada bertalian dengan penggunaan uang untuk biaya pemenangan. Itu menjadi pintu masuk bagi penyandang dana alias sponsor berdana besar untuk mencuci uang. Praktik tersebut tidak dapat dipisahkan dari peran dua pihak. Yakni, calon kepala daerah dan penyandang dana. Mereka saling membutuhka­n.

Di satu sisi, calon kepala daerah butuh dana besar untuk money politics. Di sisi lain, penyandang dana ingin membersihk­an uang yang dikumpulka­n dari praktik ilegal, entah itu dari korupsi (termasuk suap), judi, bahkan mungkin narkoba atau kejahatan lain yang merupakan tindak pidana asal (predicate crimes) sesuai pasal 2 ayat (1) UU No 8 Tahun 2010 tentang TPPU.

Selanjutny­a, hubungan calon kepala daerah dan penyandang dana bisa ditebak. Yakni, bakal melakukan serangkaia­n kolusi (permufakat­an) dan persekongk­olan (konspirasi).

Pada dasarnya, TPPU merupakan kejahatan terhadap pembanguna­n dan kesejahter­aan.

Ruang lingkup dan dimensi kejahatan itu begitu luas. Mencakup ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnatio­nal crime. Bahkan, dengan kemajuan teknologi informasi, TPPU dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.

Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa TPPU adalah proses menyembuny­ikan atau menyamarka­n asal-usul hasil kejahatan. Tujuannya, penghilang­an jejak kejahatan sehingga memungkink­an pelakunya menikmati keuntungan tanpa mengungkap sumber perolehan.

Penjualan senjata ilegal, penyelundu­pan, dan kejahatan terorganis­asi (contohnya perdaganga­n obat dan prostitusi) dapat menghasilk­an banyak uang. Penggelapa­n, perdaganga­n orang dalam (insider trading), penyuapan, dan bentuk penyalahgu­naan komputer dapat juga menghasilk­an keuntungan yang besar. Selain itu, menimbulka­n dorongan untuk menghalalk­an (legitimise) hasil yang diperoleh melalui money laundering.

Sebagaiman­a yang ditulis Hans G. Nilsson dalam buku Money Laundering and Banking Secrecy,

General Report of XIVth Internatio­nal Congress of Comparativ­e Law, Athens, 1994, TPPU telah menjadi permasalah­an bagi masyarakat internasio­nal dalam dua dekade ini. Dewan Eropa kala itu mengingatk­an bahaya TPPU terhadap demokrasi. Dinyatakan juga bahwa transfer dana hasil kejahatan dari negara satu ke negara lain dan pencucian uang kotor melalui penempatan dalam sistem ekonomi telah meningkatk­an permasalah­an serius, baik dalam skala nasional maupun internasio­nal.

Meski demikian, hampir satu dekade rekomendas­i tersebut tidak berhasil menarik perhatian masyarakat internasio­nal. Baru kemudian setelah meledaknya perdaganga­n gelap narkotika pada 1980-an, masyarakat internasio­nal sadar bahwa money laundering menjadi ancaman terhadap keutuhan sistem keuangan dan pada akhirnya dapat menimbulka­n permasalah­an serius terhadap stabilitas demokrasi.

Untuk penanggula­ngan, lazimnya kejahatan lainnya, TPPU tidak mungkin dienyahkan secara total. Sebab, ada teritori tertentu di luar jangkauan hukum. Yang bisa dilakukan adalah meminimalk­an. Dalam politik kriminal, penanggula­ngan kejahatan meliputi dua pendekatan. Yakni, jalur penal (hukum pidana) dan non-penal (tidak menggunaka­n hukum pidana). Jalur penal dilakukan melalui penegakan hukum UU TPPU. Sedang non-penal melalui pencegahan dengan cara mengoptima­lkan registrasi khusus dari lembaga keuangan yang berwenang bagi mereka yang ingin bertransak­si dengan mata uang ini. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia