Jawa Pos

Berobat ke Johor, Jual Ikan ke Singapura dan Hongkong

Di luar ketegangan di lautan, ada kedekatan antara warga Kepulauan Natuna dan negeri jiran yang telah terjalin. Urusan kehidupan sehari-hari mereka lebih nyaman terhubung dengan negara-negara tetangga itu.

- AGUS DWI PRASETYO,

ALI, 41, tekong (nakhoda) kapal rawai di Tanjung Kumbik Utara, Kecamatan Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (Kepri), tengah berada di Johor, Malaysia, ketika Dedek Ardiansyah menghubung­i melalui video call WhatsApp (WA). Dari layar ponsel, Ali tampak kurang sehat. Dia baru menjalani

cek darah di salah satu RS ternama negeri jiran itu. ”Empedu batu tak jelas,” ujar dia dengan suara terbata.

Karena koneksi internet kurang bagus, komunikasi itu diakhiri Dedek. Sejurus kemudian, percakapan beralih ke sambungan telepon reguler

Dedek yang masih penasaran menanyakan kondisi relasi kerjanya tersebut. ”Sakit apa kau, Li?” tanya Dedek. ”Empedu batu,” jawab Ali mengulang.

Bukan karena gengsi jika Ali memilih berobat ke luar negeri. Tapi, karena merasa cocok. Sebelum ke Johor, Ali berobat ke salah satu RS di Surabaya. Namun, penyakitny­a tak kunjung sembuh. Atas saran sejumlah kerabat, Ali ke Johor. Tentu, semua biaya dia tanggung mandiri karena kartu BPJS Kesehatan tak berlaku di sana.

Beberapa tekong lain yang kapal ikannya mangkal di depan rumah Dedek juga berobat ke Johor. Abeng salah satunya. Nakhoda kapal pancing rawai berkapasit­as 20 gross tonnage (GT) asal Tanjung Balai Karimun, Kepri, itu sembuh dari penyakit kencing batu setelah berobat ke Johor. Abeng sebelumnya berobat di Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna. Dia juga sudah menjajal RS di Kota Batam. Namun, semua tak membuahkan hasil. ”Dan waktu berobat di Johor langsung sembuh,” kata dia saat ditemui di pangkalan kapal nelayan Tanjung Kumbik Utara, Kecamatan Pulau Tiga Barat, Natuna.

Berobat ke Malaysia juga menjadi kebiasaan keluarga Dedek sejak bertahun-tahun. Bos kapal pancing rawai di Tanjung Kumbik Utara itu membawa semua anggota keluargany­a berobat ke daerah yang terletak di selatan Semenanjun­g Malaysia tersebut. Yang paling baru, ayah tiri Dedek, Sabli, awal tahun lalu operasi kornea mata. Saat ini penglihata­nnya nyaris sembuh seperti sediakala. ”Kami senang ke Johor karena obatnya bagus,” tutur suami Siti Kumalasari tersebut.

Tradisi berobat ke Johor dilakukan warga lantaran fasilitas rumah sakit daerah yang belum lengkap. Dedek pernah punya pengalaman pilu. Kakak pertamanya, Norman, meninggal karena penanganan yang menurutnya kurang maksimal. ”Saat itu alat CT scan kepala tidak ada (di RSUD Natuna), padahal waktu itu abang merasakan ngilu sekali di kepala,” kata Dedek. ”Kalau sekarang kami nggak tahu, sudah ada atau belum (alat CT scan kepala, Red),” imbuh bapak dua anak itu.

Warga di Natuna –khususnya kalangan ekonomi menengah ke atas– menurut Dedek, memang lebih memilih berobat ke Johor. Meski, ironisnya, hingga sekarang mereka sulit menghafal nama rumah sakitnya lantaran berbahasa asing. ”Sebagian besar memang nggak hafal nama rumah sakitnya, yang penting sembuh,” terang Dedek, lantas tertawa.

Kedekatan Natuna dengan negara tetangga juga terbangun lewat hubungan bisnis ikan. Rodhial Huda, warga Pulau Tiga Barat, beberapa tahun terakhir memelihara ikan kerapu cantik di belakang rumah panggungny­a. Ikan perkawinan silang antara kerapu cepak dan kerapu tiger itu laku dijual ke Hongkong melalui pengepul.

Saat ini 1.000 kerapu dipelihara pria yang sehari-hari berprofesi petugas sekuriti tersebut. Seekor ikan dengan berat 2 kg dihargai Rp 500 ribu. Sementara itu, ikan dengan berat 1 kilogram biasanya dibeli Rp 145 ribu. ”Kalau (ikan) sudah umur 2 tahun biasanya baru bisa dipanen,” terangnya.

Mayoritas warga di pesisir Pulau Tiga, Pulau Tiga Barat, sampai Sedanau yang ada di Natuna menggantun­gkan hidup dari bisnis jual beli ikan. Ikan-ikan itu diekspor pengepul. Paling banyak ke Singapura dan Hongkong. Ada pula yang dibawa ke Malaysia. Pemasukan dari bisnis tersebut amat menggiurka­n. Sekali transaksi bisa ratusan juta rupiah.

Misalnya, bisnis ikan tangkapan yang digeluti Dedek secara turun-temurun. Awal Desember lalu dia mengirim 18 ton ikan ke Tanjung Balai Karimun dengan nilai transaksi Rp 460 juta. Jenis ikan yang dikirim, antara lain, kurisi bali, kakap merah, kurisi, kerapu, dan jahan. Dari Tanjung Balai Karimun, ikan-ikan itu dikirim ke Singapura melalui Batam.

Di pertengaha­n November, Dedek juga mengirim ikan ke lokasi yang sama. Jumlah ikan lebih sedikit, yakni 15 ton, tapi nilai jualnya lebih bagus daripada Desember. Yaitu, Rp 570 juta. Kebetulan, harga beberapa jenis ikan terbilang bagus di bulan itu. ”Harga ikan ini memang tidak pasti, kalau lagi bagus, ya bagus juga pendapatan kita,” tuturnya.

Kedekatan masyarakat pesisir dengan negara luar juga terlihat dari kebiasaan membeli produk kebutuhan hidup seharihari. Banyak isian dapur yang merupakan hasil ”impor”. Di situ mudah sekali menemukan kecap produksi Selangor, Malaysia. Begitu pula dengan produk-produk camilan atau minuman berperisa.

Produk tersebut sejatinya tidak diperboleh­kan beredar di Indonesia. Termasuk wilayah Pulau Tiga Barat yang minim listrik itu. Pasalnya, tidak ada nomor registrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI di kemasannya. Juga, tidak ada label Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, sebagian besar warga merasa tidak peduli. Sebagian mengaku tidak tahu.

Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti mengakui kedekatan masyarakat­nya dengan negara-negara tetangga sudah terjalin sejak lama. Di bidang kesehatan, misalnya, biayanya relatif lebih terjangkau berobat ke Malaysia atau Singapura daripada ke Jakarta. ”Fasilitas kesehatan mereka lebih bagus. Ini memang jadi masalah,” ujarnya saat dihubungi.

Soal bisnis ikan, secara historis kedekatan antara masyarakat Natuna dan asing memang sudah terjalin. Pasalnya, secara geografis, menjual ikan memang lebih dekat ke Singapura dan Malaysia. ”Natuna itu memang sudah seperti saudara (bagi Malaysia dan Singapura, Red),” tutur perempuan berjilbab itu.

Harus diakui, kedekatan Natuna dengan negara tetangga memang tercatat sebagai warisan leluhur masyarakat setempat. Namun, kedekatan itu semestinya tidak menjadi pintu masuk kapal ikan asing (KIA) mencuri ikan di sana. Atau mengedarka­n produk-produk olahan tanpa izin edar. ”Historinya tetap jalan, tapi pelanggara­n jangan dibiarkan,” kata Ngesti.

 ?? IMAM HUSEIN/JAWA POS ?? TEKONG KAPAL: Dedek Ardiansyah di perairan Tanjung Kumbik Utara, Kecamatan Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Kepri. Sudah bertahunta­hun dia biasa membawa keluarga sakit berobat ke Johor.
IMAM HUSEIN/JAWA POS TEKONG KAPAL: Dedek Ardiansyah di perairan Tanjung Kumbik Utara, Kecamatan Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Kepri. Sudah bertahunta­hun dia biasa membawa keluarga sakit berobat ke Johor.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia