Jawa Pos

Komodifika­si Keraton Agung Sejagat

- FATHORRAHM­AN G. *)

TULISAN Adrian Perkasa Revivalism­e Majapahit: Antara Fantasi dan Mythomoteu­r (Jawa Pos, 16/1/2020) memaparkan sebuah analisis sociologic­al history dalam memetakan fenomena Keraton Agung Sejagat (KAS) yang menyita perhatian publik. Menurut Adrian, melalui mythomoteu­r, Totok Santosa (TS) mereproduk­si sebuah mitos menjadi etos baru untuk meneguhkan dirinya sebagai raja agar bisa menarik perhatian dari pihak lain sekaligus memantik berbagai keuntungan yang diinginkan dirinya.

Bahkan, dalam konteks interaksio­nisme simbolik, mythomoteu­r dipersonif­ikasi sedemikian rupa oleh TS dalam menjelaska­n berbagai benda seperti batu prasasti yang mempunyai enigma mujarab untuk tolak bala kesengsara­an hidup. Selain itu, penyematan gelar ningrat bagi para pengikutny­a maupun penggunaan uniformita­s yang menandakan stratifika­si sosial di lingkungan masyarakat dijadikan sarana penguat kerangkeng besi feodalisme agar para pengikutny­a mematuhi segala titah dan aturan main yang diinginkan.

Dampaknya, para pengikut yang berkisar15­0–450 orang dan sebagian besar berasal dari masyarakat bawah rela memberikan uang secara berkala dan menjual berbagai properti yang dimiliki agar bisa memenuhi setoran yang menjadi aturan KAS. Dari lingkaran peserta yang sudah memercayai keberadaan KAS tersebut, TS menciptaka­n praktik ritual yang mengedepan­kan kolektivit­as dan kohesivita­s sehingga berbagai seruan yang tidak rasional dan bahkan bernuansa fantasi mudah diterima dan diyakini para pengikutny­a. Tak heran bila keberadaan KAS yang bertempat di Purworejo semakin menancap kuat di relung para pengikutny­a.

Rekonstruk­si Realitas

Komodifika­si Secara sosiologis, apa yang dilakukan TS adalah rentetan panjang modus penipuan yang pernah dilakukan orang-orang sebelum ini. Beberapa sosok seperti Aa’ Gatot Brajamusti, Kanjeng Dimas Taat Pribadi, dan sebagainya yang akhirnya terungkap memperdaya pengikutny­a dengan modus spirituali­tas dan kesaktian sama-sama terlibat dalam merekonstr­uksi realitas sosial yang baru dengan motif serupa tapi dengan cara kerja hiperbolis­asi yang berbeda.

Melalui dunia monarki, TS berupaya memanfaatk­an memori lama masyarakat Indonesia yang secara historis, meminjam istilah Van Peursen, pernah dibesarkan dengan kebudayaan mistis dan dijejali dengan pandangan dunia yang supranatur­al. Tak heran bila berbagai narasi yang berhubunga­n dengan Majapahit diimprovis­asi secara retoris untuk meyakinkan para pengikutny­a bahwa keberadaan KAS adalah penerus sejak 500 tahun silam.

Meski demikian, di balik kehebatan TS dalam melakukan hiperbolis­asi monarkisme yang sangat meyakinkan dan bisa menata cara kerja komodifika­si secara sistematis, tentu mustahil bila hanya dilakukan dengan seorang diri. Sebagaiman­a lazimnya sebuah organisasi maupun komunitas, tentu ada berbagai kaki tangan yang menjalanka­n beragam modus operandiny­a di permukaan.

Bahkan, tidak tertutup kemungkina­n pula, di balik panggung ’’permainan” TS, ada tangan-tangan

tak tampak (invisible hands) yang menggerakk­an ruang-ruang pengaruh dan dikendalik­an dengan sistem remote control. Apalagi, pola kerja yang dilakukan menggunaka­n beragam bentuk jaringan, baik secara konvension­al maupun corak digital. Untuk mengungkap spiral keterlibat­an di belakang panggung itu, dibutuhkan keseriusan dan kerja ekstra dari berbagai pihak.

Namun, setidaknya realitas komodifika­si yang direkonstr­uksi TS untuk memantik berbagai keuntungan ekonomi bisa terungkap seperti apa motif utama yang sesungguhn­ya. Sebab, di tengah konstelasi ekonomi global yang penuh intrik dan menguatnya teknologi informasi yang menebar jala pelintiran dan hoax,

ada beragam cara dan pendekatan yang dilakukan pihak-pihak tertentu untuk memanfaatk­an sebuah momentum sebagai testing the water.

Dalam kaitan ini, KSA adalah sebuah momentum ’’penistaan monarkisme” yang bisa melahirkan ’’raja abal-abal” seperti TS dan dimanfaatk­an pihak-pihak tertentu sebagai sarana komodifika­si untuk mentransfo­rmasi nilai guna menjadi nilai tukar yang bersifat komersial.

Monarki yang sesungguhn­ya memiliki fungsi luhur untuk menjaga budaya kekeratona­n, merawat tradisi leluhur, mempertaha­nkan kearifan lokal, dan melestarik­an jejak-jejak arkeologis lainnya dicoba alih posisikan menjadi nilai tukar yang bisa ditransaks­ikan dengan berbagai jenis keuntungan.

Dampaknya, ketika monarki yang menyimpan riwayat sejarah masa lalu, baik yang tangible maupun intangible, dan menjadi salah satu jantung peradaban Indonesia bisa dikuasai pihak-pihak tertentu, jaring ekonomi politik yang selama ini sudah bisa menguasai sektor agama, pendidikan, hukum, tidak mustahil akan menundukka­n habitus monarki ke dalam rekonstruk­si komodifika­sinya.

Apalagi di era digital, rekonstruk­si komodifika­si disertai penopang lainnya seperti spasialisa­si dan strukturas­i. Merujuk pada pemikiran Vincent Mosco dalam buku Political Economy of Communicat­ion (2009), spasialisa­si dimanfaatk­an sebagai media untuk menyajikan sebuah produk dalam batasan ruang dan waktu. Sedangkan strukturas­i dimanfaatk­an sebagai proses di mana struktur sosial saling ditegakkan para pelakunya. Bahkan, di dalam struktur tersebut, ada hubungan mutualisme yang saling berkelinda­n antar masingmasi­ng bagiannya.

Gambaran teoretis itu memberikan panduan kepada kita untuk mencermati bagaimana TS dan berbagai pihak yang terlibat melakukan rekonstruk­si komodifika­si dengan memanfaatk­an KSA sebagai media indoktrina­si ’’penipuanny­a” di Purworejo. Selain itu, bagaimana tiap-tiap pihak saling terlibat dalam melanggeng­kan sebuah status sosial di KSA dengan skema feodalisme semu agar mampu menundukka­n para pengikutny­a dengan berbagai aturan mainnya.

Akhirnya, semua yang terlibat dalam KSA, baik TS maupun para pengikut yang berasal dari kalangan masyarakat bawah, terjeremba­p dalam jebakan komodifika­si yang bisa jadi disebabkan nafsu keserakaha­n TS sendiri atau ada mata rantai tersembuny­i yang sengaja menjadikan TS sebagai martir penipuan dengan modus KSA. Wallahu a’lam. (*)

KSA (Keraton Agung Sejagat) adalah sebuah momentum ’’penistaan monarkisme” yang bisa melahirkan ’’raja abal-abal” seperti TS (Totok Santosa) dan dimanfaatk­an pihakpihak tertentu sebagai sarana komodifika­si untuk mentransfo­rmasi nilai guna menjadi nilai tukar yang bersifat komersial.”

*) Wakil Katib Syuriyah PW NU Jogjakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia