BPJS Kesehatan Dorong Pertumbuhan Industri Farmasi
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) Jawa Timur (Jatim) optimistis pasar farmasi tanah air masih bisa berkembang tahun ini. Stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang positif membuat industri bergairah.
SEPANJANG tahun lalu, industri farmasi Indonesia mencatatkan pertumbuhan 5–7 persen jika dibandingkan dengan pencapaian 2018. Ketua Bidang Industri GP Farmasi Jatim Tjomo
Tjengundoro menyebut faktor politik sebagai faktor utama penentu perkembangan industrinya. ”Politik yang stabil mendorong perkembangan ekonomi yang positif. Ujung-ujungnya, daya beli masyarakat meningkat,” tutur dia kemarin (17/1).
Sekarang ini perusahaan-perusahaan farmasi harus lebih pandai menyusun strategi pemasaran. Tujuannya, meningkatkan revenue. Tahun ini GP Farmasi yakin kinerja industrinya lebih baik ketimbang 2019. Salah satu indikator kuatnya adalah populasi. Tiap tahun jumlah penduduk naik sekitar 2,7 persen. Saat ini populasi Indonesia tercatat 270 juta jiwa.
”Jumlah itu masih akan bertambah. Dengan sendirinya, itu meningkatkan penggunaan obat,” lanjut Tjomo. Owner PT Novapharin Pharmaceutical Industries tersebut juga mengungkapkan bahwa faktor lain yang menyebabkan kenaikan industri farmasi adalah pertambahan jumlah peserta BPJS Kesehatan. Itu akan menguntungkan produsen yang menyuplai obat ke BPJS Kesehatan.
Tjomo menerangkan bahwa peserta BPJS Kesehatan berjumlah 196 juta atau sekitar 74 persen dari total penduduk Indonesia pada 2018. Jumlah itu meningkat menjadi 216 juta orang tahun lalu. ”Pemerintah telah menargetkan tahun ini semua masyarakat sudah bergabung ke dalam BPJS Kesehatan. Oleh sebab itulah, kami yakin industri farmasi masih memiliki prospek yang cerah. Kami targetkan tumbuh 7–9 persen,” urainya.
Demi mencapai target, GP Farmasi akan meningkatkan efisiensi perusahaan. Selain itu, tetap menjaga kualitas produk dengan menerapkan aturan CPOB (cara pembuatan obat baik) sesuai instruksi BPOM. GP Farmasi juga bertekad menambah varian produk dan membentuk lini produksi baru.
Kendati demikian, industri farmasi masih terkendala bahan baku. Selama ini produsen obat banyak menggantungkan impor bahan baku pada Tiongkok, India, dan negara-negara Eropa. Karena itu, anggota GP Farmasi kerap terkendala regulasi di negara pengimpor.
Selain bahan baku, kendala lain adalah komitmen pembayaran obat dari dinas kesehatan dan rumah sakit terhadap perusahaan farmasi yang menyuplai BPJS. Tjomo berharap pemerintah segera turun tangan mengatasi defisit BPJS Kesehatan. ”Kami juga berharap pemerintah tetap menjaga kestabilan politik agar ekonomi Indonesia terus positif,” ungkapnya.