Jawa Pos

Perubahan Nama Jalan dan Tanggung Jawab Moral Menjaga Identitas Kota

- ADY SETYAWAN* Penulis Buku ”Benteng-Benteng Surabaya” dan ”Surabaya Di Mana Kau Sembunyika­n Nyali Kepahlawan­anmu?”

BEBERAPA waktu terakhir ini media diramaikan dengan berita perubahan nama jalan. Setelah Jl Gunungsari dan Jl Dinoyo, kini giliran Jl Bung Tomo. Perubahan nama bukan sekadar masalah sepele. Sebab, itu bisa berdampak positif maupun negatif. Sejarah mencatat bahwa perubahan nama jalan relatif identik dengan bergantiny­a rantai kekuasaan jabatan. Ketika kuku kolonialis­me Belanda mencengker­am Surabaya, sebagian nama jalan mengalami pergantian. Beberapa di antaranya menggunaka­n nama pahlawan atau tokoh besar mereka: Admiraal Ferwerda Weg, Admiraal Helfrich Boulevard, Coen Boulevard, Daendelsst­raat, Van Deventerla­an, Van der Bosch laan, dan masih banyak lagi. Ketika Belanda angkat kaki, terjadi kembali perubahan nama besar-besaran. Perubahan nama di atas terjadi kurang dari seratus tahun yang lalu. Tapi, adakah pembaca yang familier dengan lokasi-lokasi yang saya sebutkan? Sebagai contoh ketika membaca kepingan sejarah bahwa Tentara Pelajar Staf IV Surabaya yang bermarkas di Heerenstra­at berhasil melucuti barisan tentara Jepang, sebagian dari kita tentu masih bertanya-tanya: di mana Heerenstra­at itu? Bagaimana jika terjadi lebih dari periode seratus tahun dan penggantia­n nama kawasan itu menyangkut sebuah peristiwa bersejarah? Misalnya, Ujung Galuh. Lokasi Ujung Galuh yang dianggap sebagai awal mula lahirnya Surabaya pun menjadi perdebatan. Bukan hal yang mustahil seratus tahun dari sekarang ketika anak cucu kita membaca kisah perjuangan di Gunungsari dan

Dinoyo akan meraba-raba lokasinya. Dari penjelasan singkat di atas, semoga dapat dipahami bahwa perubahan nama jalan atau sebuah kawasan hendaknya tidak menyentuh kawasan yang memiliki nilai historis yang terekam dalam banyak literatur. Ada baiknya perubahan nama jalan dilakukan pada jalan-jalan atau kawasan baru. Akan ada disorienta­si sejarah.

Polemik Perubahan Nama Ruas Jalan Bung Tomo

Jalan Bung Tomo akan diubah menjadi Jalan Kencana, media mengabarka­n bahwa nama Kencana dipilih dari diskusi antara pemkot dan Tim Ahli Cagar Budaya. Ditegaskan pula bahwa pemilihan nama Kencana tidak ada kaitan dengan Konsorsium Kencana Group yang membangun mal dan perbelanja­an besar di ujung Jalan Bung Tomo. Di luar benar atau tidaknya, perlu kita pertimbang­kan setidaknya dua hal sebelum mengganti nama Bung Tomo menjadi Kencana.

Pertimbang­an pertama adalah sejarah penamaan Jalan Bung Tomo. Hal ini terkait dengan perjuangan warga Surabaya kala itu agar Bung Tomo ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Pertimbang­an kedua adalah terkait perasaan keluarga Bung Tomo. Memang terdengar sentimenta­l, tapi coba kita tengok beberapa tahun ke belakang tentang hancurnya rumah radio di Jl Mawar. Berita ini bukan hanya hantaman bagi bangsa Indonesia, tetapi juga pukulan keras bagi keluarga Bung Tomo.

Rumah itu bukan hanya titik bersejarah bangsa, tapi juga tempat di mana Bung Tomo bertemu dengan sang istri. Kisah tersebut terekam jelas dalam buku memoar Bu Sulistina. Akan bijak jika kita sedikit banyak memahami keberatan yang dirasakan keluarga.

Di sisi lain, pemerintah beralasan memindah nama Jalan Bung Tomo menuju jalan yang lebih besar, dekat dengan Gelora Bung Tomo, dengan maksud untuk lebih menghargai. Sebagai masukan, bagaimana jika nama jalan di dekat Gelora Bung Tomo tersebut diganti nama dengan Ktut Tantri?

Nama Ktut Tantri mungkin asing. Tapi, perempuan Amerika berdarah Skotlandia tersebut menjadi partner perjuangan Bung Tomo dalam menggelora­kan semangat arek-arek Suroboyo.

Ktut Tantri menuliskan seluruh pengalaman hidupnya, terutama pengalaman­nya di Surabaya ketika masa revolusi, dalam sebuah buku yang berjudul Revolt in Paradise. Buku yang mengisahka­n mulai ditangkap dan disiksa Jepang di gedung Kempetai, menjadi matamata di Hotel Oranje (kini Majapahit), bergabung dengan Bung Tomo di Jl Mawar, hingga melakukan aksi gila memasuki kawasan yang dikuasai Inggris dengan menyamar sebagai palang merah untuk mengambil suku cadang radio yang rusak.

Mengenang kembali bagaimana mereka berdua dahulu juga bersebelah­an berjuang di depan corong radio untuk kemerdekaa­n Indonesia mengembali­kan kembali memori kolektif warga Surabaya dan membuktika­n bahwa ucapan orang Belanda kepada Ktut Tantri adalah salah. Bahwa bangsa Indonesia masih tetap mengenang seorang Ktut Tantri. Dan yang terpenting adalah memahami bahwa menjaga identitas dan memori kolektif kota adalah tanggung jawab kita bersama. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia