PSI Seleksi Calon Kepala Daerah
Ada Yang Serius, Ada Yang Coba-Coba
JAKARTA, Jawa Pos – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar konvensi terbuka untuk menjaring bakal calon kepala daerah yang bertarung di pilkada 2020. Konvensi tersebut diikuti 30 kandidat dari dua daerah. Terdiri atas 12 kandidat calon wali kota (cawali) untuk pilwali Surabaya dan 18 figur untuk pilwali Tangerang Selatan (Tangsel).
Ketua Umum PSI Grace Natalie menyatakan, seleksi terbuka adalah lanjutan penjaringan di tingkat DPD kabupaten/kota. Menurut dia, konvensi bakal calon kepala daerah merupakan wujud transparansi. ”Kami melibatkan tim panelis independen yang ahli di bidang masingmasing,” katanya di kantor DPP PSI di Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, kemarin (19/1).
Konvensi juga bertujuan melawan ongkos politik yang mahal dalam pilkada. Melalui konvensi terbuka, pihaknya membuka ruang kontestasi yang setara bagi semua kalangan. Baik kader internal maupun pihak luar. ”Konvensi adalah upaya kami memerangi high cost politics. Peserta konvensi sama sekali tidak dipungut biaya,” papar Grace.
Konvensi dengan metode wawancara terbuka melibatkan tim panelis independen. Di antaranya pakar psikologi politik Hamdi Muluk, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte, dosen Nanyang Technological University (NTU) Sulfikar Amir, dan Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas.
Ada juga mantan Komisioner KPK Bibit Samad Rianto serta founder Ruang Guru Iman Usman. Grace Natalie juga bertindak sebagai tim panelis internal. Bersama Sekjen PSI Raja Juli Antoni dan Bendahara Umum PSI Suci Mayang Sari.
Tim panelis independen Djayadi Hanan mengungkapkan, semua kandidat dipanel tim panelis secara bergantian. Waktunya 40 menit. Tim panelis mengeksplor gagasan para kandidat dari semua bidang. Mulai materi seputar tata kelola pemerintahan, pencegahan korupsi, infrastruktur, hingga persoalan kebijakan publik lainnya. Mulai pendidikan, kesehatan, perekonomian, hingga lingkungan.
Hasilnya? Djayadi menilai para kandidat yang diwawancarai relatif menguasai persoalan. Termasuk solusi yang diberikan. Namun, ada juga yang di bawah ekspektasi. ”Ada juga yang terkesan coba-coba. Indikasinya terlihat dari solusi yang ditawarkan cenderung mengawangawang,” ungkapnya.
Djayadi lantas memberikan catatan khusus untuk pilwali Surabaya. Menurut dia, siapa pun kandidat yang maju, kualitasnya harus selevel dengan Wali Kota Tri Rismaharini. Dari semua sisi. ”Bila perlu, kualitasnya harus di atas Bu Risma (sapaan Tri Rismaharini, Red),” imbuhnya.
Disampaikan, tantangan calon wali kota Surabaya ke depan sangat besar. Sebab, Tri Rismaharini sudah meninggalkan warisan
(legacy) yang baik bagi Kota Pahlawan. Publik pun menuntut standar kepemimpinan yang setara atau lebih tinggi daripada Risma. ”Kalau kualitasnya di bawah Bu Risma, jelas masyarakat menolak,” katanya.
Karena itu, calon yang akan diusung Partai Solidaritas Indonesia disarankan untuk rajin mengeksplorasi celah yang masih masih kurang atau belum pernah dikerjakan oleh Tri Rismaharini dalam penyelesaiaan persoalanpersoalan di Surabaya. Misalnya, secara personal, calon yang bersangkutan perlu mengimbangi gaya kepemimpinan Risma. Khususnya dalam hal mencari terobosan atau pendekatan baru dalam penanganan persoalanpersoalan kota yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
”Pemimpin ke depan dituntut untuk terus kreatif. Tidak bisa lagi berkarakter birokrat yang menjaga jarak dengan masyarakat,” tandas doktor ilmu politik dari The Ohio State University, AS, itu.