Memutuskan Berjualan setelah Kondisi Psikologis Membaik
Atlet balap sepeda Mohammad Toha pernah jaya pada masanya. Dia kerap menyabet medali dalam event nasional maupun internasional di nomor sprint. Nasibnya berubah saat masa senja. Beban ekonomi membuatnya terus bekerja. Tak jarang, Toha harus menghindari ra
WAHYU Z. BUSTOMI, Jawa Pos
MOMEN pengalungan medali emas PON 1973 di Jakarta masih lekat di ingatan Mohammad Toha. Saat itu, dia ingat betul tubuhnya gemetar saat berdiri di atas podium. Matanya berkaca-kaca menahan rasa bangga yang menyeruak. Memori kejayaan tersebut dengan lancar dia kisahkan.
”Itu pertama kalinya saya ikut
PON,” ucapnya kepada Jawa Pos di sisi Jalan Mohammad Noer, Sabtu malam (18/1).
Toha memiliki spesialisasi turun di nomor-nomor sprint. Terutama di nomor 200 meter dan 400 meter. Kekuatan kakinya di nomor-nomor itulah yang memberinya banyak medali dan penghargaan. Pada masa jayanya, dia berani menggantungkan hidup dari olahraga yang digelutinya tersebut.
Namun, masa kejayaan itu seperti tak bersisa pada dirinya sekarang. Secara kasatmata, tidak terlihat fisiknya yang pernah disegani di dunia balap sepeda nasional pada 1970-an. Bahkan di level Asia Tenggara. Apalagi jika menilik kondisi perekonomiannya saat ini
Toha mengungkapkan kisahnya sambil menjaga barang dagangannya di sebuah gerobak yang mangkal di pinggir jalan. Dia berdagang minuman, makanan kecil, dan rokok.
Dengan membawa kursi lipat, sesekali pria 67 tahun itu berdiri. Biasanya, hanya untuk merapikan botol minuman. Atau sekadar menata beberapa piagam penghargaan di dalam etalase gerobaknya. Piagam ukuran A3 tersebut selalu dia bawa. Bukan untuk dipamerkan, melainkan penyemangat saat mencari nafkah.
Ada dua piagam yang selalu berada di gerobak Toha. Yakni, penghargaan saat menyabet medali perak dan perunggu ajang PON IX/1977 di Jakarta. Waktu itu, dia turun di dua kategori. Yaitu, sprint 200 meter dan estafet 400 meter.
Toha mengisahkan, dirinya mulai akrab dengan balap sepeda sejak SMP. Dia bergabung dengan Klub Elang Putih di Surabaya. Melalui latihan keras dan rajin mengikuti berbagai lomba, prestasinya mulai terlihat pada awal 1970.
Berawal dari kejuaraan balap sepeda piala wali kota hingga rutin mengikuti event-event kaliber nasional. Misalnya, Tour Surabaya–Jakarta, Tour Sulawesi, sampai Tour de Philippines 1977. Semua kenangan itu masih tersimpan di rumahnya dan gerobak tempatnya mencari nafkah.
Perjalanan hidup Toha memang penuh rintangan. Masa keemasan menjadi atlet sepeda pun tak banyak dia rasakan. Sejak menikah pada 1977, Toha merasa pendapatannya sebagai atlet sangat pas-pasan. Saat itu, sistem bonus atas prestasi yang diraihnya juga berbeda.
Dia mengisahkan, bonus untuk satu medali emas di PON hanya Rp 24 ribu. Itu pun dicicil selama dua tahun. Sementara itu, medali perak Rp 12 ribu dan cair selama satu tahun. Medali perunggu
Rp 6 ribu dan bisa diperoleh selama enam bulan. ”Kalau nilainya sudah habis, ya harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan keluarga,” ujarnya.
Setelah mengikuti PON IX/1977 di Jakarta dan Tour Sulawesi sekitar 1980, Toha akhirnya memutuskan mundur dari dunia balap sepeda. Namun, ternyata tak semudah itu. Masih banyak tawaran untuk kembali menekuni balap sepeda.
Salah satu yang cukup intensif mendekatinya adalah pengurus balap sepeda Surabaya dan Pemkot Surabaya (saat itu Kotamadya Surabaya). Pada saat yang sama, Klub Elang Putih yang membesarkannya sudah bubar.
Niat untuk kembali ke balap sepeda semakin besar lantaran ada iming-iming lain yang menyertai. Dia dijanjikan pekerjaan di salah satu dinas Kotamadya Surabaya. Toha pun membulatkan tekad untuk kembali dan meninggalkan pekerjaannya di bidang konstruksi di Gresik.
Kembali berlomba, dia mengikuti ajang pekan olahraga dan seni (porseni) antarkotamadya. Selanjutnya, mencicipi lagi event-event nasional. Termasuk Tour Baskara Jaya Bangkalan–Sumenep. ”Saya dapat juara umum waktu itu,” ucapnya.
Rintangan kembali menghadang. Karena terjadi konflik internal, setelah mengikuti beberapa event, dia memutuskan keluar dari porseni. Bermodal tabungannya, Toha memilih untuk berwiraswasta. Yakni, membuka bisnis angkutan kota atau bemo. Usahanya pun lancar. Dalam waktu singkat, bisnisnya berjalan pesat. Bahkan, Toha sampai memiliki sepuluh bemo.
Namun, takdir berkata lain. Pada 1985, usaha yang dia rintis itu bangkrut. Satu per satu bemonya terjual. Tidak hanya itu, lemari tempat piala, medali, dan piagam pun harus ikut terjual. Karena itulah, beberapa bukti kemenangannya hilang. Termasuk medali saat memenangkan SEA Games 1977 di Malaysia.
Dalam periode tersebut, Toha mulai frustrasi. Keinginan bekerja pun menurun. Bahkan, rumah tempat tinggalnya hampir dijual. Apalagi, saat itu dia harus kehilangan anaknya yang bunuh diri. ”Anak saya begitu karena kondisi ekonomi keluarga yang terus menurun,” ucapnya.
Kondisi psikologis Toha kembali membaik pada 2000-an. Waktu itu, dia bertemu dengan teman lamanya. Dia diajak berjualan asongan di pinggir jalan. Termasuk datang ke lokasi yang sedang berlangsungnya kegiatan. Ajakan tersebut awalnya ditolak. Sebab, dia belum sepenuhnya menerima kondisinya yang dulu pernah jaya.
Karena asap dapur harus tetap mengepul, akhirnya tawaran tersebut dia terima. Awalnya, Toha berjualan di sekitar Balai Kota Surabaya. Omzetnya lumayan. Tapi, lantaran kerap diusir satpol PP, dia memilih lokasi jualan yang aman. Yakni, di sekitar Jembatan Suramadu. Bahkan, jika ada pertandingan sepak bola, Toha datang ke stadion. Termasuk ke Lamongan dan Sidoarjo. Sebab, saat ada pertandingan sepak bola, jualannya bisa laku lebih banyak.
Toha biasanya mulai berjualan sore hingga malam. Lokasi reguler tempatnya mangkal cukup membahayakan, yakni di pintu keluar Jembatan Suramadu arah Surabaya. Supaya pengguna jalan mengetahui keberadaannya, dia melengkapi gerobaknya dengan cahaya lampu. Selain agar aman, lampu tersebut bisa digunakan pembeli untuk memilih minuman atau rokok. ”Enak di sini aman, tidak ada satpol PP yang merazia,” terangnya.
Gerobaknya dimodifikasi layaknya kendaraan roda tiga. Tujuannya, bisa bergerak berkeliling. Sebab, pada Minggu pagi Toha berjualan di Taman Bungkul. Nah, sorenya baru berangkat ke Jalan Mohammad Noer.
Pendapatan yang diperoleh tak menentu. Jika ramai, bisa mencapai Rp 150 ribu. Namun saat sepi seperti kemarin, uang di sakunya hanya Rp 80 ribu.
Belum lagi saat hujan. Dagangannya bisa jadi tidak laku sama sekali. Biasanya, dia langsung pulang menuju rumahnya di Ketabang Ngemplak, Kecamatan Genteng. Toha hidup tak sendirian. Dia tinggal dengan salah seorang anaknya.
Pada masa senjanya, harapan Toha tak banyak. Dia ingin memiliki modal dan berjualan di sekitar rumahnya. Sebab, jarak Suramadu dengan tempat tinggalnya cukup jauh.
Menurut Toha, nasib atlet sekarang bisa dikatakan jauh lebih baik daripada dulu. Meski begitu, dia tak pernah menyesal pernah berjasa mengharumkan nama Jatim dan Indonesia pada masa lampau. Sebab, semuanya bukan hanya soal materi. Melainkan panggilan jiwa untuk ibu pertiwi.