Raperda Ketertiban Umum Dibahas Lagi
SURABAYA, Jawa Pos – Polemik tingginya sanksi kurungan dan denda terhadap pelanggar ketertiban umum mulai dibahas lagi. Rencananya, sanksi untuk pelanggar disederhanakan.
Salah satu contoh pasal yang dianggap terlalu berat sanksinya adalah pejalan kaki yang tak berjalan di trotoar. Termasuk penyeberang yang tidak menggunakan jalur penyeberangan. Sanksinya kurungan paling lama 6 bulan dan denda maksimal Rp 50 juta.
Masih banyak pelanggaran remeh yang bisa terjerat sanksi tersebut. Karena itulah, sejak tahun lalu pemkot hendak menyederhanakan isi sanksi itu. Sayangnya, DRPD Surabaya tak cekatan sehingga pembahasannya gagal.
Aturan itu dibahas lagi tahun ini oleh anggota DPRD Surabaya periode 2019–2024. Politikus Demokrat Muchammad Machmud adalah anggota pansus tersebut saat masih jadi anggota komisi C. Kini saat duduk di komisi A, dia kebagian membahas aturan itu lagi.
Machmud menerangkan bahwa pemkot sebenarnya mengusulkan sedikit revisi. Namun, tidak ada kesamaan visi dengan dewan sehingga pembahasannya gagal. ”Terutama soal perubahan aturan sanksi pidana yang berat itu,” kata Machmud kemarin (19/1).
Pemkot mengusulkan agar ketentuan kurungan tersebut lebih ringan. Hukumannya maksimal hanya 3 bulan penjara. Sidangnya pun tidak rumit. Tidak perlu menghadirkan dua alat bukti pelanggaran seperti selama ini.
Salah satu analogi yang sering digunakan Kepala Satpol PP Irvan Widyanto adalah pelanggaran buang air di sungai. Pelanggar bisa disidangkan. Namun, satpol PP tentu tidak mungkin membawa bukti kotoran atau air seni pelanggar tersebut.
Machmud sebenarnya sepakat dengan pemkot. Namun, saat itu anggota pansus lainnya tetap ngotot tak mau mengabulkan revisi tersebut. Akhirnya, hingga kini pelanggar aturan itu tetap bisa terjerat sanksi tersebut. ”Nanti di komisi A mudah-mudahan ada jalan tengah,” kata mantan ketua DPRD Surabaya itu.