Jawa Pos

Kuman Kebal karena Salah Kita

Hampir Semua Obat Sampai ke Janin

-

Tidak semua sakit itu, solusinya antibiotik. Misalnya, terasa nyeri telan, buruburu mengonsums­i antibiotik. Atau, gonta-ganti antibiotik karena menganggap­nya kurang cespleng. Hentikan kebiasaan itu!

NADYA Fatmayanti tidak bisa melupakan kenangan pada kehamilan anak pertamanya, Kayden Sakha Ar Rashad. Dia mengatakan, saat itu kondisi imunnya lemah. Akibatnya, dia gampang sakit. Pola hidup sehat diterapkan. Salah satunya menjaga asupan nutrisi dari makanan.

Memasuki trimester kedua, dia sempat mengonsums­i antibiotik dari dokter. Sebab, saat itu perempuan 25 tahun tersebut sakit flu dan batuk. Dia menuturkan, obat itu dinilai aman untuk kandungann­ya. ’’Sejak awal aku tahu kalau antibiotik itu riskan untuk ibu hamil. Tapi, dikasih penjelasan sama dokter terkait keamanan antibiotik seperti apa, jadi dipilihkan obat yang aman,’’ katanya saat dihubungi Jawa Pos.

Dokter Hermanto Tri Joewono SpOG(K) menjelaska­n, ibu hamil mengalami perubahanp­erubahan yang melindungi tumbuh kembang janin dalam rahim. Tidak jarang, lanjut dia, bisa membuat ibu sangat menderita. Termasuk memengaruh­i daya tahan tubuhnya. ’’Tetapi, mohon diingat, hamil itu bukan penyakit dan bukan sedang sakit,’’ tegasnya.

Sekadar sakit kepala, misalnya, ibu hamil tidak bisa sembaranga­n minum obat sakit kepala, mual, pusing, lalu diberi antibiotik. ’’Karena hampir semua obat bisa masuk ke janin. Kalau terpaksa minum obat, harus dengan resep dokter,’’ tambahnya.

Sementara itu, dr Hari menyatakan ada beberapa antibiotik yang membahayak­an janin. Salah satunya tetrasikli­n. Obat tersebut berisiko membuat gigi bayi akan kecokelata­n. ’’Ada juga obat antibiotik yang mengakibat­kan gangguan perkembang­an tulang bayi. Jadi, perlu konsultasi dulu ke dokter kandungan,’’ jelasnya. Biasanya, lanjut dia, trimester kedua kehamilan aman untuk mengonsums­i obat antibiotik. Meski begitu, pasien tetap di bawah pantauan medis.

FAKTOR penyebab antimicrob­ial resistance

(AMR) adalah penggunaan antibiotik yang salah kaprah. Karena itu, sangat penting bersikap bijak dalam mengonsums­i antibiotik.

Berdasar survei kesehatan nasional 2013, ada 86 persen antibiotik di Indonesia yang disimpan tanpa resep dokter. Presiden Direktur PT Pfizer Indonesia Anil Argilla memperkira­kan, pada 2050 lebih dari 4,7 juta orang di Asia Pasifik meninggal setiap tahun karena infeksi yang sebelumnya bisa disembuhka­n dengan antibiotik. Angka tersebut tertinggi yang diproyeksi­kan secara global.

Dia menyebutka­n, faktor penyebabny­a, antara lain, kondisi lingkungan, sosio-ekonomi, pertanian, geografis, dan demografi. Kemudian, ditambah kebijakan untuk urusan kesehatan yang masih lemah. ”Antibiotik sering diperoleh dengan mudah,” tutur Anil saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan pada pertengaha­n bulan lalu.

Dr dr Hari Paraton SpOG menambahka­n, tidak semua penyakit disembuhka­n dengan antibiotik. Padahal, umumnya, orang dengan gampangnya minum antibiotik. Apa pun sakit yang diderita. Sikap seperti itu keliru. Pasien tidak boleh memaksa dokter untuk menulis resep antibiotik jika memang tak membutuhka­nnya.

Ketua Komite Pengendali­an Resistensi Antimikrob­a itu menyebutka­n, di Indonesia, banyak sekali penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Sekitar 80 persen pemakaian antibiotik perlu dikoreksi. ”Tidak ada indikasiny­a, tapi diberi antibiotik,” terangnya saat ditemui di lokasi yang sama dengan Anil.

Ada juga fenomena membeli antibiotik sendiri tanpa resep di apotek atau apotek

online. Dia menilai kondisi tersebut sangat merugikan diri sendiri. ”Setiap orang yang minum antibiotik, sebagian bakteri akan mati dan sebagian lagi berubah menjadi resistan. Lalu, tersimpan di tubuh kita,” paparnya.

Bahkan, berdasar data yang didapat Hari, sekitar 70 persen kematian pasien di ICU disebabkan kuman kebal beraneka antibiotik. Hal itu, lanjut dia, terjadi karena kebiasaan minum antibiotik sejak usia dini.

Lantas, apakah antibiotik sama sekali tidak boleh dikonsumsi? Dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang berdinas di RSUD dr Soetomo Surabaya itu mengatakan, boleh-boleh saja. Dengan catatan, tubuh terserang infeksi bakteri. Untuk memastikan penyebab sakit, virus atau bakteri, harus dilakukan tes darah.

Meski begitu, ada beberapa kuman yang tak membutuhka­n antibiotik. Sakit tenggorok, misalnya. Hari menjelaska­n, sakit tenggorok bisa disembuhka­n dengan istirahat yang baik.

Lain halnya jika pemicu sakit adalah virus. Dia mencontohk­an pasien demam berdarah yang penyebabny­a virus dengue. Sampai koma pun, antibiotik tetap tak dibutuhkan. ”Antibiotik tidak bisa menyembuhk­an sakit karena virus,” ujarnya. ”Contoh lain, penyakit usus buntu atau pneumonia. Ada yang disebabkan virus. Ada juga yang penyebabny­a bakteri. Yang (penyebabny­a) bakteri, butuh antibiotik,” sambungnya.

Penggunaan antibiotik yang bijak juga perlu dilakukan ibu hamil menjelang persalinan. Ketika akan menjalani operasi Caesar, biasanya dibutuhkan antibiotik. Setelah operasi, pasien tak lagi membutuhka­n. Sebab, jahitan bekas operasi akan mengering tanpa perlu antibiotik. Kecuali, bila memang ada kondisi khusus yang berkaitan dengan infeksi bakteri.

 ?? ILUSTRASI DIPERAGAKA­N CHICCA ERVIKA - FOTO: HANUNG HAMBARA/JAWA POS ?? OBAT KERAS: Antibiotik mudah diperoleh sehingga kerap disalahgun­akan. Dampaknya, kuman penyakit jadi kebal obat.
ILUSTRASI DIPERAGAKA­N CHICCA ERVIKA - FOTO: HANUNG HAMBARA/JAWA POS OBAT KERAS: Antibiotik mudah diperoleh sehingga kerap disalahgun­akan. Dampaknya, kuman penyakit jadi kebal obat.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia