Terapkan Lima Kebijakan Penguatan Ekonomi
KETIDAKPASTIAN pasar keuangan global akibat Covid-19 makin tinggi meski intensitas di Tiongkok sendiri mulai berkurang. Asesmen terkini Bank Indonesia (BI) menunjukkan, berkurangnya persebaran Covid-19 di Tiongkok berdampak positif pada kenaikan kegiatan ekonomi di sana
Namun, ketidakpastian pasar keuangan makin meningkat pasca ditemukannya kasus Covid-19 di luar Tiongkok. Investor global menarik penempatan dananya di pasar keuangan negara berkembang dan mengalihkan ke aset keuangan dan komoditas yang dianggap aman seperti UST Bond dan emas. Kondisi itu kemudian menekan pasar keuangan dunia dan memberikan tekanan depresiasi cukup tajam pada banyak mata uang global, termasuk Indonesia.
BI memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas lain dalam melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah dan mitigasi dampak risiko Covid-19 terhadap perekonomian domestik. Langkah penguatan tersebut meliputi lima kebijakan. Pertama, BI meningkatkan intensitas intervensi di pasar keuangan yang kita sebut triple intervention agar nilai tukar rupiah bergerak stabil sesuai fundamentalnya dan mengikuti mekanisme pasar. Untuk itu, BI mengoptimalkan strategi intervensi di pasar spot, pasar DNDF, dan pasar SBN. Tujuannya, meminimalkan risiko peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah. Kita sudah melakukan, kita tingkatkan intensitasnya untuk menjaga confidence pasar.
Kedua, menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) valuta asing bank umum konvensional dan syariah. Dari semula 8 persen menjadi 4 persen, berlaku mulai 16 Maret 2020. Penurunan rasio GWM valas tersebut akan meningkatkan likuiditas valas di perbankan sekitar USD 3,2 miliar dan sekaligus mengurangi tekanan di pasar valas.
Ketiga, BI menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps yang ditujukan kepada bank-bank yang melakukan kegiatan pembiayaan ekspor-impor. Tentu, pelaksanaannya akan berkoordinasi dengan pemerintah. Seperti diketahui, sejak adanya Covid-19, eksporter dan importer di Indonesia sulit melakukan kegiatan. Kesulitan tidak hanya menyangkut logistik dan distribusi, tapi juga biaya impor menjadi mahal. Penurunan 50 bps tersebut diharapkan dapat mempermudah dunia usaha melakukan kegiatan eksporimpor melalui biaya yang lebih murah. Kebijakan itu diimplementasikan mulai 1 April 2020, berlaku selama sembilan bulan dan sesudahnya dapat dievaluasi kembali. Mestinya mulai normal itu sekitar enam bulan, tapi kami kasih sembilan bulan. Mudah-mudahan bisa normal kembali.
Keempat, BI memperluas jenis underlying transaksi bagi investor asing sehingga bisa memberikan alternatif dalam rangka lindung nilai atas kepemilikan rupiah. Dengan begitu, akan mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah. Perluasannya, bagi investor asing yang menjual kepemilikan SBN dan memasukkannya ke dalam rekening rupiah di Indonesia, dapat digunakan sebagai underlying untuk membeli DNDF.
Kelima, BI menegaskan bahwa investor global dapat menggunakan bank kustodi, baik global maupun domestik, dalam melakukan kegiatan investasi di Indonesia.
Terkait dengan asesmen Covid-19 terhadap RI, kami masih konsisten bahwa dampak terberat pada Februari–Maret. Insya Allah mulai mengalami perbaikan pada April. Belum tentu pulih, tapi ada perbaikan pada April, Mei, dan seterusnya. Kemudian mulai pulih enam bulan.
Mengenai nilai tukar rupiah, memang perilaku investor berbedabeda. Pada awalnya memang mereka yang terkena pelemahan mata uang terbesar itu Korsel, Thailand, Singapura, Malaysia, dan negara-negara latin Amerika. Awalnya, outflow di RI belum terlalu besar. Kemudian, pekan lalu terjadi risk-off besar-besaran di seluruh dunia. Bahkan, di AS, Eropa, dan Jepang, indeks harga saham turun.
Hal itulah yang kemudian meningkatkan outflow dari Indonesia. Itulah mengapa tingkat pelemahan rupiah lebih tinggi pekan lalu. Tapi, kalau secara year to date, tingkat pelemahan rupiah tersebut lebih rendah daripada Singapura dan negara lain.
Dampak Covid-19 ke ekonomi kita, RI itu sebetulnya mengalami dampak yang rendah secara fundamental. Dibandingkan negara lain seperti Jepang, Korsel, Thailand, Singapura, maupun Malaysia, dampak ke RI paling kecil karena memang perdagangan kita secara global dengan Tiongkok lebih rendah.