272 Daerah Perlu Kejelasan Pilkada
Ikut Desain Keserentakan Pemilu 2024 atau Tidak
JAKARTA, Jawa Pos – Desakan agar DPR segera membahas undang-undang tentang politik secara kolektif terus menguat. Banyak problem baru soal pemilu yang segera membutuhkan payung hukum, sedangkan waktu pembahasan tidak terlalu banyak.
DirekturEksekutifPerkumpulanuntukPemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan, salah satu norma yang mendesak adalah kejelasan waktu pilkada bagi 272 daerah. Yakni, 101 eks daerah peserta Pilkada 2017 dan 171 daerah eks peserta Pilkada 2018. Di antaranya, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Normalnya, masa jabatan para kepala daerah di wilayah tersebut habis pada 2022 dan 2023. Namun, dalam konstruksi hukum yang lama, pilkada bagi 272 daerah itu ditarik ke November 2024. ’’Kalau melihat realitas penyelenggaraan Pemilu 2019, lalu juga ada putusan MK, kami menganggap tidak layak dan kurang rasional kalau memaksakan pilkada serentak nasional tahun 2024,’’ ujarnya dalam diskusi di Jakarta kemarin.
Pada 2024, lanjut dia, pemilu nasional diselenggarakan pada April dan tahapannya masih berlangsung hingga pelantikan pada Oktober 2024. ’’Bayangkan, pileg-pilpres April 2024, lalu pilkada serentak November 2024. Kami menduga akan terjadi sebuah kompleksitas dan kekacauan teknis dalam proses kepemiluan kita,’’ imbuhnya.
Dalam putusannya, MK meminta desain keserentakan memperhatikan kemudahan teknis. Karena itu, nasib 272 daerah tersebut perlu dirumuskan ulang.
Titi mengusulkan agar tetap dilakukan pilkada pada 2022 atau 2023. Opsi tersebut lebih mudah bagi penyelenggara dan menguntungkan untuk peserta. ’’Itu yang harus segera diputuskan oleh pembuat UU. Karena ini berkaitan dengan anggaran. Kalau tetap ada pilkada pada 2022, penganggaran mulai 2021 tahapan. Pembahasan anggaran 2021 dimulai 2020,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan, setidaknya ada tujuh undang-undang (UU) yang memiliki keterkaitan satu sama lain dengan politik. Yakni, UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, UU Pemerintahan Daerah, UU Keuangan Negara, serta UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dia menambahkan, di antara tujuh UU tersebut, ada yang patut digabungkan atau dikodifikasi. Yakni, UU Pemilu dan Pilkada yang normanya saling terkait. Sebab, jika tidak, akan muncul persoalan seperti perbedaan nomenklatur Bawaslu yang sempat mengemuka. ’’UU Pemilu dan UU Pilkada akan digabung. Itu pilihan yang baik,’’ jelasnya dalam diskusi di Jakarta kemarin (3/3).
Sementara untuk UU lain, itu sangat bergantung pada pilihan kebijakan. Kalaupun tidak digabungkan, berbagai aturan tersebut harus dibahas secara bersamaan karena masing-masing memiliki keterkaitan. ’’Antar pasal-pasal itu harus ada harmonisasi,’’ imbuhnya.
Dia menambahkan, saat ini rencana pembahasan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020. Sayang, hingga Maret nasib naskah akademiknya belum jelas. Padahal, sebagaimana amanat MK, pembahasan harus segera dilakukan agar punya cukup waktu untuk melakukan simulasi. ’’Simulasi penting untuk memetakan masalah dan membuat langkah antisipasi,’’ tuturnya.