Jawa Pos

Keadilan Berbahasa sejak dalam Lidah

- Oleh PAKSI RARAS ALIT Musisi dan penulis, tinggal di Jogja

BEBERAPA waktu lalu muncul utas di Twitter cuitan dari akun fans sepak bola di Indonesia yang mengkritik komentator siaran sepak bola Eropa di televisi lokal kita. Sang komentator yang berasal dari Indonesia itu dinilai salah melafalkan nama-nama pemain bola asing dan dianggap kurang menguasai bahasa asing

Otomatis ramai komentar warganet saling menimpali dalam utas itu. Mudah ditebak, respons negatif dan penghakima­n kepada sang komentator lebih banyak daripada yang membela. Kebencian kadang lebih cepat menular dibandingk­an virus penyakit.

Warganet tidak terima nama bintang idola mereka salah dilafalkan oleh sang komentator. Misalnya ketika kapten Bayern Muenchen, Manuel Neüer, oleh komentator dilafalkan ’nuyer’. Padahal, menurut aturan bahasa Jerman yang benar, dibaca seperti kita melafalkan ’noier’ dalam lidah kita.

Giorgio Chiellini dari Italia seharusnya dibaca ’jiorjio kelini’. Courtois yang benar dilafalkan

’kourtoa’ dalam bahasa Prancis. Disusul perdebatan nama Jose apakah dilafalkan ’yose’ atau

’hose’ versi bahasa Spanyol dan Portugis. Begitulah warganet bergantian memberikan pendapat tentang cara berbahasa asing yang baik dan benar.

Saya kasihan sama komentator bola itu. Berat betul pekerjaann­ya. Dituntut warganet harus poliglot selama 90 menit pertanding­an.

Bayangkan betapa ribet lidahnya seandainya harus mengomenta­ri duel antara Jakub Błaszczyko­wski dari Polandia dan Azubuike Egwuekwe dari Nigeria serta Sokratis Papasthath­opoulos dari Yunani yang ternyata juga nimbrung rebutan kulit bundar.

Tak hanya sampai di situ, serangan warganet lalu merembet pada kesalahan lain yang bagi mereka sangat sensitif, yaitu salah melafalkan nama klub. (Klub sepak bola adalah segalanya bagi suporter. Jangan disenggol, bisa konflik. Di negara kita ini acara nobar liga-liga asing saja sering jadi pemicu tawuran antarfans lokal).

Contohnya, fans Paris Saint

Germain tidak terima bila klubnya tidak dilafalkan ’pari sang yermang’ sesuai kaidah lidah Prancis, bukan dibaca ’paris sen jerman’. Begitu pula pelafalan Leicester City yang seharusnya dilafalkan ’leister’.

Di samping iba pada lidah sang komentator, saya kepikiran bagaimana seharusnya lidah Indonesia ini bersikap menghadapi bahasabaha­sa asing? Memang benar bila ada alasan yang menyebutka­n bahwa kesalahan pelafalan sebuah kata bisa mengubah arti kata.

Apalagi nama orang, yang artinya biasanya merupakan doadoa dari orang tua mereka. Doa yang salah lafal bisa tidak terkabul. Melafalkan nama orang dengan benar juga dianggap sebuah penghormat­an kepada orang tersebut.

Tetapi, kalau mau dipikir begitu, berarti mestinya kita juga wajib komplain kepada komentator asing yang melafalkan ’bengbeng pemiungkas’, yang jelas-jelas mengubah arti nama Bambang ”satria” dan Pamungkas yang berarti ”terakhir, termulia”, mantan kapten timnas Indonesia.

Lalu bisa saja komentator Olimpiade dianggap tidak hormat kepada pahlawan olahraga kita saat melafalkan nama ’tovic haidayat’. Padahal, Taufik Hidayat adalah sang peraih medali emas yang namanya sangat layak dihormati. Pelafalann­ya juga harus benar agar arti namanya yang diambil dari bahasa Arab tidak berubah.

Lalu apakah kita juga perlu melakukan komplain pada kesalahan fatal yang dilakukan penjajah Belanda dahulu, yang kadang sembaranga­n melafalkan nama-nama penting Indonesia?

Misalnya saat orang-orang Belanda kesusahan melafalkan dan membaca kata Yogya sehingga oleh mereka ditulis Jogja karena lidahnya terbiasa melafalkan ’j’ dengan ’y,’ seperti ’jan’ dibaca

’yan’ dalam lafal Belanda. Bukankah jelas bahwa mereka semena-mena mengubah arti kata Yogya yang berarti ”layak, pantas” dan karta yang berarti ”kota” menjadi Jogja-karta, kota yang tidak ada artinya dalam bahasa Jawa.

Lidah tidak bertulang memang kadang semaunya berucap. Tetapi, dari kasus orang Belanda yang sembrono tersebut, seharusnya bisa dipetik pelajaran berharga bahwa mereka berkuasa penuh akan lidahnya.

Kita harus mengakui keunggulan sikap mereka yang begitu percaya diri dan cuek sekali dalam berbahasa asing meskipun salah lafal dan mendistors­i arti katanya. Lidah Kumpeni itu tidak merasa inferior terhadap bahasa-bahasa lain. Lidahnya setara dengan lidah bangsa lain.

Sementara di negara kita, sepertinya konsep kesetaraan lidah dalam berbahasa masih jauh di angan. Berbahasa Inggris saja mesti kita pikirkan dengan baik aksennya agar tidak kelihatan Indonglish atau sering dikatakan ”Inggris medhok”.

Jika kita mampu bersikap maklum pada lidah orang asing yang tidak benar dalam melafalkan bahasa Indonesia, sebaliknya kita juga memaklumi lidah kita sendiri yang kesulitan untuk melafalkan bahasa asing. Konsep adil sejak dalam lidah sepertinya diperlukan agar bahasa Indonesia terhormat dan setara di dunia ini.

Jika suatu hari nanti kita benarbenar sudah berdaulat akan lidah dan bahasa kita, mungkin tidak perlu lagi merasa malu bila lidah ini ingin makan steak dan french fries tapi dilafalkan ’stik’ atau ’frenfres’ di restoran. Karena kita juga memaklumi dan bahkan bertepuk tangan meriah saat lidah Barrack Obama bilang ’satei’ dan ’bazoo’ dalam pidatonya yang menceritak­an kenanganny­a pada kuliner Indonesia beberapa tahun lalu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia