SUROCK BOYO
Antusiasme tinggi, venue memadai juga punya. Jadi, tinggal butuh nyali dan kolaborasi untuk menggelorakan kembali konser dan festival rock besar di Surabaya.
UMPAN lambung sudah dilepaskan oleh Anas Syahrul Alimi
Surabaya punya sejarah melahirkan banyak rocker kenamaan dan konserkonser rock yang dikenang. Pasti bisa memunculkan lagi festival rock besar.”
IAN ANTONO Gitaris God Bless
”Saya sebenarnya pengin bikin festival rock di Surabaya. Saya bahkan sudah punya namanya, SuROCKboyo Festival,” kata founder JogjaROCKarta itu.
Bukan cuma nama, Anas juga sudah punya bayangan kapan dan di mana festival itu bakal dihelat. ”Saya kebayang diadakannya pas Hari Pahlawan. Tempatnya di Pelabuhan Tanjung Perak,” kata promotor yang baru saja mendatangkan Scorpions dan Whitesnake di JogjaROCKarta 2020 tersebut.
Persoalannya kini, siapa yang akan menyundul atau menyalto umpan itu biar menjadi gol? Agar rock kembali menggelegar di Surabaya. Supergrup dunia singgah lagi. Band-band rock besar kembali lahir. Dan, Surabaya, kota yang pernah menjadi basis perkembangan rock di tanah air, kembali patut menepuk dada: ini SuROCKboyo!
*** Mengenakan polo shirt dan bercelana pendek, Log Zhelebour tampak santai di tengah gudang berisi puluhan peralatan audio, mixer, sound, dan lighting itu. Sesekali dia keluar ke teras. Menemui empat pegawainya yang sedang membersihkan dan menjajal lighting.
Jumat sore lalu (6/3) itu dia memang tengah mempersiapkan seperangkat sound system untuk diboyong ke Desa Wiyurejo, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ada karnaval di desa tersebut. Untuk peralatan audionya, menyewa milik Log.
”Sekarang saya coba merambah ke karnaval di daerah-daerah. Di desa sekarang banyak menggelar acara karnaval, ini peluang baru,” jelasnya kepada Jawa Pos.
Membicarakan musik rock di Surabaya dan Indonesia harus membicarakan Log. Sejak era 1980-an hingga dasawarsa pertama abad ke-21, dia adalah petarung tanpa tanding untuk urusan festival, konser, maupun rekaman musik cadas.
Dari tangan pria kelahiran Maret 1959 itu, terhelat rutin festival rock yang sebagian alumninya kemudian tumbuh menjadi band besar. Grass Rock, Power Metal, Jamrud, dan Boomerang, untuk menyebut sejumlah nama. Log pula yang dulu membawa Sepultura, Mr Big, Helloween, dan Skid Row ke Surabaya.
Tapi, sejak 2017 Log absen menggelar konser. Band terakhir yang didatangkannya dan dibawa tur ke Surabaya, Malang, dan Jogjakarta adalah Dragonforce.
”Pemerintah kini kurang support pergelaran konser rock,” katanya tentang alasan hiatus dari dunia yang dibesarkan dan membesarkannya.
Ongkos untuk membayar pajak, lanjut dia, terlalu tinggi. Penyelenggara konser jadi keder duluan. ”Pengeluaran di luar kebutuhan konser terlalu banyak. Tidak hanya pemerintah pusat, tapi daerah juga minta,” jelasnya. ”Jadi, dobel-dobel,” tambah dia.
Penyelenggara konser, papar Log, jadi sulit mendapat untung. Padahal, biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan tidak kecil.
Hiatusnya Log dari pergelaran konser itu berdampak besar, membuat Surabaya ”senyap”. Dream Theater empat kali ke Indonesia (yang terakhir dijadwalkan bulan depan di Jakarta, dengan Anas sebagai promotor) serta Metallica, Bon Jovi, dan Megadeth masingmasing dua kali pula konser di sini. Tapi, tak satu pun di antara band-band rock kelas wahid itu yang mampir ke Surabaya.
Padahal, Surabaya memegang peran penting dalam perkembangan rock di tanah air. ”Kota Surabaya menjadi basis perkembangan musik rock sejak tahun 1967. Berbagai jenis musik rock beserta akar perkembangannya muncul mewabah di kalangan anak muda dalam beberapa pergelaran musik,” tulis Yudi Aristanu Wibowo dalam skripsinya di Universitas Negeri Surabaya yang bertajuk Kajian Identifikasi Mengenai Ragam Musik Rock Surabaya Tahun 1967–1980 serta Dampak Perkembangan Musik Rock Surabaya 1967–1980.
”Awal menjamurnya rock di di Surabaya itu dibuktikan dari berbagai artikel dan literatur, lantas berkembang ke tempat lain di Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Tengah,” katanya ketika dihubungi Jawa Pos.
Dekade demi dekade, antusiasme terhadap rock di Surabaya juga tak pernah redup. Jawa Pos pernah sepesawat pulang dari Jakarta seusai konser Dream Theater (2012) dan Metallica (2013) di Jakarta dengan para metalhead asal Kota Pahlawan dan kota-kota di sekitarnya. Mereka mengisi hampir dua pertiga kursi.
Kalau kemudian perhelatan rock seperti menjauh dari Surabaya belakangan, selain karena minimnya dukungan pemerintah, kata Log, juga akibat susahnya perizinan, Selain itu, sejak 2013, pemerintah melarang ditampilkannya produk beberapa perusahaan yang biasanya mempunyai andil besar dalam terselenggaranya konser rock.
Pembatasan itu membuat sponsor tidak berani mengeluarkan uang lebih. ”Mungkin bisa lewat CSR (corporate social responsibility) BUMN (badan usaha milik negara). Tapi, siapa yang berani?” ucapnya.
Masalah lain yang diamati Log adalah tidak adanya semangat untuk bersatu di kalangan musisi rock dan penggemarnya di Surabaya. Mereka terkotak-kotak.
Penggemar band A, misalnya, hanya mau dukung bandnya saat main. ”Penggemar band B juga punya sikap serupa,” katanya.
Drumer Power Metal Eko Dinaya menyepakati amatan Log itu. ”Di Surabaya, saya lihat lebih ke persaingan. Kepentingan komunitasnya sendiri,” katanya ketika ditemui secara terpisah.
***
Di satu sisi, antusiasme masih menyala. Di sisi lain, begitu banyak kendala yang menghadang baliknya konser dan festival rock di Surabaya.
Tapi, rocker senior Ian Antono yakin bahwa kegairahan rock di Surabaya akan menemukan jalannya kembali. ”Surabaya punya sejarah melahirkan banyak rocker kenamaan dan konserkonser rock yang dikenang. Pasti bisa memunculkan lagi festival rock besar,” papar gitaris kelahiran Malang itu sebelum perform di JogjaROCKarta 2020.
Kuncinya, papar Anas, ada di semangat dan nyali. Dia menambahkan, dibutuhkan gandeng tangan antara pemerintah, event organizer lokal, promotor, dan sponsor.
Saat ini sejumlah kota lain di Jawa Timur seperti Banyuwangi dan Jember sudah punya kalender festival seni yang ajeg. Jadi, lanjut Anas, sangat disayangkan kalau di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, malah belum ada.
Padahal, soal venue yang bisa menampung ribuan orang, Surabaya sudah punya. Massa pencinta rock garis keras, buanyaaak. Tinggal dikolaborasikan. ”Saya seneng seandainya diajak ngobrol temen-temen dari Surabaya. Jogja aja ada, masak Surabaya nggak ada festival rock kelas dunia?” kata CEO Rajawali Indonesia itu.
Lagi-lagi umpan lambung. Tinggal ditunggu: siapa yang akan memaksimalkannya menjadi gol. Agar Surabaya jadi Su-ROCKboyo!