Presiden Masih Bisa Tarik Lagi Omnibus Law
Penolakan Publik Makin Besar
SLEMAN, Jawa Pos – Penolakan terhadap omnibus law bergaung makin kencang di Jogjakarta. Kemarin (9/3) ribuan mahasiswa dan warga turun ke jalan dalam aksi Gejayan Memanggil. Mereka memadati simpang tiga Jalan Affandi.
Ada beberapa tuntutan yang disampaikan dalam aksi kemarin. Seluruhnya berfokus pada pembahasan RUU Omnibus Law
Antara lain pembatalan pembahasan omnibus law yang meliputi RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan, RUU Ibu Kota Negara, dan RUU Kefarmasian. ”Kami menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan seluruh lembaga negara yang mendukung pengesahan omnibus law,” tegas humas aksi Gejayan Memanggil Kontra Tirano saat ditemui Jawa Pos Radar Jogja di simpang tiga Jalan Affandi kemarin.
Massa juga menyerukan kepada seluruh rakyat untuk terlibat dalam aksi mogok nasional. Peserta aksi menganggap pemerintah tak serius menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Pada saat bersamaan, pemerintah justru mengusulkan produk omnibus law. Tirano menilai omnibus law merampas hak-hak dasar warga negara.
Aksi tersebut juga diikuti ratusan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa
(BEM KM) UGM Jogjakarta. Mereka fokus menyoroti RUU Cipta Kerja. Ketua BEM KM UGM Jogjakarta Sulthan Farsas Nanz menegaskan, RUU Cipta Kerja menghilangkan keberpihakan kepada para pekerja.
”Kue terbesar dari kebijakan ini dihadiahkan kepada golongan pengusaha dan investor. Ini harus dikritisi. Jangan sampai RUU yang tidak memayungi kaum pekerja ini disahkan,” tegasnya.
Sementara itu, di Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak DPR untuk menolak pembahasan RUU itu. RUU inisiatif pemerintah tersebut dinilai terlalu memberikan karpet merah kepada investor dengan mengabaikan hak-hak pekerja. Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Napitupulu menyampaikan, RUU Cipta Kerja juga berdampak pada berbagai persoalan. Alih-alih membenahi tumpang-tindih regulasi, konsep omnibus law justru memperumit peraturan. Sebab, akan melahirkan lebih banyak peraturan pelaksana. Di sisi lain, menabrak banyak perundang-undangan yang dinilai sudah efektif berlaku. Misalnya, UU Ketenagakerjaan, UU Penanaman Modal, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Pemerintah Daerah. ”Jika diteruskan, substansi RUU itu bisa meruntuhkan keadaban hukum,” jelasnya.
Di bagian lain, RUU yang diserahkan kepada DPR bisa ditarik lagi oleh pemerintah. Itu dapat ditempuh jika belum ada pembahasan di DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UndangUndang (UU) 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Nah, itu bisa berlaku untuk RUU Cipta Kerja. Sejauh ini, untuk omnibus law tersebut, memang belum ada pembahasan setelah maraknya penolakan. ”Presiden melalui kementerian terkait bisa menarik lagi RUU itu (RUU Cipta Kerja, Red),” jelas peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi.
Diketahui, draf berikut naskah akademik RUU Cipta Kerja diserahkan kepada DPR 12 Februari lalu. Namun, surat presiden (surpres) belum dibacakan dalam rapat paripurna penutupan masa sidang ke-2 pada 27 Februari lalu. ”Secara normatif, sama sekali belum ada pembahasan,” ucap Ferdian.
Tata cara penarikan RUU, sambung dia, diatur dalam Peraturan DPR 3/2012 tentang Tata Cara Penarikan RUU. Persisnya di pasal 9 ayat (3). Presiden menyampaikan pernyataan tertulis kepada pimpinan DPR dengan disertai penjelasan alasan penarikan. Nah, penarikan RUU oleh presiden selanjutnya diumumkan oleh pimpinan dewan dalam rapat paripurna.
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD irit komentar mengenai aksi penolakan terhadap omnibus law. ”Ya, nanti kami tampung dulu lah. Nggak apa-apa demo, bagus,” terangnya kemarin.